Pria yang akrab disapa Kuncir menuturkan awalnya ia tidak senang dengan gambar-gambar tradisional maupun pewayangan.
"Bagi saya terlalu rumit dan ribet. Saya kurang senang dengan gambar yang full ornamen juga, jadi selalu buat yang solo figur," tuturnya ketika diwawancarai detikHOT di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mulai berproses menjadi seniman sejak kuliah di Desain Komunikasi Visual ISI Denpasar, Kuncir pun sudah mengenalkan budaya kuno rerajahan sejak tahun 2011. Pameran perdananya pun baru digelar Agustus lalu.
![]() |
Saat penyelenggaraan pameran perdananya, banyak kawan-kawannya yang mengkritik lantaran rerajahan dianggap sakral.
"Mereka mempertanyakan atau lebih ke kritik ya terhadap karya seni dan keadaan saya di Bali. Maksudnya saya kan keadaan adat istiadat yang membaur. Tapi sebenarnya saya mengkritik diri sendiri," tutur Kuncir.
Sebagian besar masyarakat Bali, lanjut dia, menganggap rerajahan seperti ilmu hitam. Menurutnya, sekarang publik tidak usah berpikir mengenai ilmu hitam maupun putih dalam budaya kuno rerajahan.
Simak artikel berikutnya ya.
(tia/nu2)