'The Meg' dibuka dengan aksi seorang pahlawan bernama Jonas Taylor (Jason Statham, in all glory) yang menyelamatkan sekumpulan manusia-manusia malang yang terjebak dalam kapal selam yang akan meledak. Kapal selam tersebut dihantam oleh sesuatu yang sangat besar dan mematikan yang menjadikan dirinya sebagai bom waktu. Jonas sempat menyelamatkan beberapa orang namun beberapa orang terpaksa ia relakan. Hal ini terus menghantuinya sampai sekarang.
Sebuah opening yang efektif untuk sebuah B-movie yang berhubungan dengan hiu pra-sejarah. Film musim panas garapan Hollywood dan China ini adalah sebuah tontonan yang sadar diri bahwa dirinya hadir hanya untuk membuat penontonnya bersenang-senang. Ditulis oleh Dean Georgaris, Joen Hoeber dan Erich Hoeber (diadaptasi dari buku karangan Steve Alten) dan disutradarai oleh Jon Turteltaub, 'The Meg' adalah sebuah film yang mungkin Anda akan lupakan begitu film selesai tapi tidak akan Anda ignore ketika ia tayang di TV.
Dalam 'The Meg', kita menyaksikan para ilmuwan dan seorang miliuner berinteraksi. Lokasinya ada di 200 mil dari pesisir Shanghai. Nama tempatnya ada Mana One, sebuah tempat eksplorasi laut yang harganya milyaran dollar. Tim produksi The Meg tidak gagal dalam menunjukkan itu. Mana One terlihat meyakinkan dan mewah. Lokasi yang pas untuk menjadi aksi kejar-kejaran manusia vs. hiu ketika filmnya mulai pindah gigi.
![]() |
Alkisah, Jack Morris (Rainn Wilson, lebih hiperbola dari biasanya) si milyuner, sedang menyaksikan uji coba di istananya bersama timnya. Ada oceanographer Dr. Minway Zhang (Winston Chao), anaknya yang seorang marine biologist Suyin Zhang (Li Bingbing), Jaxx Herd (Ruby Rose), Mac (Cliff Curtis) dan beberapa orang lainnya. Dalam film ini mereka menemukan bahwa ternyata bagian terdalam lautan bukanlah bagian paling dalam. Masih ada bagian bawah lagi. Dan saat itulah kapal mereka diserang oleh sesuatu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
By all means, 'The Meg' bukanlah film yang akan didaftarkan ke Oscar tahun depan. Pembuat filmnya tahu bahwa penonton 'The Meg' adalah orang-orang yang ingin bersenang-senang di dalam bioskop ber-AC untuk melupakan masalah hidupnya sejenak dan menyaksikan monster hiu menggigiti manusia. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Jadi meskipun dialog-dialognya sekaku animasi anak-anak yang tayang di Minggu pagi dan karakterisasi tokohnya setipis kertas HVS, 'The Meg' akan tetap berjalan sesuai fungsinya.
![]() |
Karena penonton ingin melihat hiu memangsa manusia. Dan hal itu dipersembahkan dengan cukup lumayan.
Yang paling menawan dari 'The Meg' memang segi teknisnya yang luar biasa. Tujuh puluh persen film ini berlokasi di air, entah itu di dalam air atau di permukaan air, dan 'The Meg' menampilkan visual tersebut dengan sangat mumpuni. Bentuk monster yang muncul juga sangat-sangat gagah dan meyakinkan. Anda tidak akan kecewa saat si monster muncul dan mulai menyerang manusia.
Bahkan mungkin akan ada poin dimana Anda bersorak sorai ketika ia mulai membunuhi manusia-manusia jahat itu. Visual efeknya begitu memikat dan dalam beberapa sekuens, Turteltaub membuktikan bahwa The Fast and The Furious akan lebih menarik kalau kejar-kejarannya dilakukan di laut dan yang mengejar adalah hiu raksasa.
![]() |
Sayangnya pacing film ini agak letoy. Turteltaub memberikan begitu banyak build-up di awal film yang ternyata tidak sesuai dengan payback yang ia berikan. Begitu banyak penjelasan latar belakang yang bertele-tele yang tidak perlu. Ada beberapa bagian yang memang cukup menegangkan tapi film ini seharusnya bisa membuat penontonnya mencengkeram pegangan kursi dengan lebih erat.
Rating yang cukup family friendly juga membuat The Meg menjadi sedikit "pemalu" dibandingkan dengan film-film sejenis. Adegan di klimaks film akan menjadi lebih bombastis jika ia berani mempersembahkan film ini untuk penonton dewasa. Bayangkan betapa merah lautan itu ketika ia berhasil memangsa ratusan orang yang sedang asyik liburan. Pada akhirnya The Meg memang hanya hadir untuk menjadi sebuah teman yang baik. Ia tidak berambisi untuk menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar good time dan kadang kala, itu sudah lebih dari cukup.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International