Mengingat Lagi 'Bumi Manusia' Pramoedya Ananta Toer yang Kontroversial

Mengingat Lagi 'Bumi Manusia' Pramoedya Ananta Toer yang Kontroversial

Tia Agnes - detikHot
Jumat, 25 Mei 2018 13:10 WIB
Mengingat Lagi 'Bumi Manusia' Pramoedya Ananta Toer yang Kontroversial Foto: Istimewa
Jakarta - "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan." (Bumi Manusia, 1980)

Kutipan terkenal di atas dari novel 'Bumi Manusia' pastinya terkenang di hati para pembaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Bagaimana tidak, buku pertama dari tetralogi Pulau Buru itu melegenda, kontroversi, sempat dilarang beredar di masanya sekaligus pembuka dari terkenalnya sastra Indonesia ke mata dunia.

'Bumi Manusia' kini bakal diadaptasi ke layar lebar oleh Falcon Pictures. Sutradara Hanung Bramantyo mempercayakan Iqbaal Ramadan sebagai Minke namun keputusan tersebut menuai kontroversi di media sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Sosok pengarang Pramoedya Ananta Toer yang disebut berkali-kali dinominasikan di Nobel Sastra menulis 'Bumi Manusia' pada 1975 ketika mendekam di Pulau Buru. Ia terpaksa harus melewati proses ketidakadilan bersama tahanan politik lainnya karena pendiriannya yang 'kiri'.

Selama di Pulau Buru pula, Pram banyak menulis. Kata-katanya tak bisa dikekang oleh pemerintah bahkan pihak-pihak yang terus menekannya kala itu.

Roman sejarah itu menceritakan tentang perjalanan tokoh Minke. Ia merupakan anak pribumi yang berdarah priyayi namun bersekolah di HBS (Hogere Burger School) atau setara dengan sekolah lanjutan tinggi pertama bagi elite pribumi.

Pola pikir Minke yang melebihi zamannya tersebut membuatnya kerap tertindas. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner dan berani melawan ketidakadilan seperti terhadap kebudayaan Jawa. Di tengah perjalanannya, Minke jatuh cinta terhadap Annelies, putri dari Nyai Ontosoroh perempuan simpanan atau gundik dari Tuan Mellema.



Nyai Ontosoroh juga merasakan ketidakadilan terhadap hidupnya. Sebagai seorang gundik, ia menderita dan harus bekerja keras untuk belajar dan diakui sebagai manusia.

Di masa kolonial Belanda, pernikahan campur antara pribumi dan Indo tidak dibenarkan. Kematian Tuan Mellema pun mengharuskan Annelies dibawa ke Belanda dan membuatnya jauh dari Minke.

Mengingat Lagi 'Bumi Manusia' Pramoedya Ananta Toer yang KontroversiMengingat Lagi 'Bumi Manusia' Pramoedya Ananta Toer yang Kontroversial Foto: Istimewa


Di novel 'Bumi Manusia', Pramoedya Ananta Toer dengan jelas mengungkapkan permasalahan dan ketidakadilan di era kolonialisme Belanda, strata sosial, dan represi terhadap perempuan. Lewat tulisan-tulisan Minke yang tersebar di media massa dengan nama pena Max Tollenaar, Minke mengkritisi segala hal.

Lantaran pemikirannya pula, Minke pun dianggap berubah pikiran dan menjauh dari keluarganya. Seperti perkataan sang ibunda, "Bunda tak hukum kau. Kau sudah temukan jalanmu sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali. Tempuhlah jalan yang kau anggap terbaik. Hanya jangan sakiti orang tuamu, dan orang yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu."

Meski akhir cerita 'Bumi Manusia' yang pilu, novel roman ini sempat dilarang beredar dan menjadi perbicangan. Setahun setelah terbit pada 1980, novelnya dilarang beredar. Bukunya dituduh mengajarkan ajaran Marxisme-Leninisme, Komunisme dan sedikit mengajarkan rasa nasionalisme.

Dikutip dari berbagai sumber, penolakan terhadap 'Bumi Manusia' berlangsung pada April 1981 saat organisasi pemuda bentukan Orde Baru menggelar diskusi yang mengecam karya Pramoedya. Tiga surat kabar saat itu mulai menerbitkan kecaman terhadap Pram dan 'Bumi Manusia'.

Pada 29 Mei 1981, Jaksa Agung mengeluarkan SK-052/JA/5/1981 tentang pelarangan 'Bumi Manusia' dan 'Anak Semua Bangsa.' Buku yang tersebar di toko buku pun disita semuanya. Bahkan penerjemah 'Bumi Manusia' Maxwell Lane dari Australia dipulangkan ke negara asalnya pada September 1981.

Simak artikel berikutnya.

(tia/doc)

Hide Ads