Para pengunjung pameran seni di Indonesia pun kerap mengunggah foto-foto ke akun media sosial pribadi. Demi feed Instagram, mendapatkan pose terbaik, serta likes dari banyak followers berbagai cara halal dilakukan.
Padahal berada di dalam museum maupun galeri seni punya etika tersendiri. Aturan dari setiap museum dan galeri seni terkadang berbeda. Meski membayar sesuai harga tiket yang ditentukan, ibaratnya tamu sudah seharusnya pengunjung mengikuti aturan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Satu hal yang harus diikuti pengunjung adalah tata tertib dari setiap tuan rumah dan melihat karya seni sesuai karakternya. Kalau karya di ruang publik seperti mural tentu saja bebas-bebas saja kalau bergaya apapun," ujar Kepala Seksi Pameran dan Kemitraan Galeri Nasional Indonesia Zamrud Setya Negara saat dihubungi detikHOT.
Namun, aktivitas selfie atau wefie jika dilakukan di karya seni rupa, patung, maupun instalasi berskala besar, itu baru menjadi masalah. "Biasanya kan karya yang jadi area selfie kan yang menarik perhatian pengunjung dan pengunjung harus melihat karakter karyanya dulu. Kalau karakternya adalah karya keramik, sangat rentan kan pengunjung sibuk selfie," jelasnya lagi.
![]() |
Masalah kurangnya apresiasi pengujung pameran seni di Indonesia, lanjut Zamrud, merupakan masalah bersama dari setiap museum dan galeri seni di Indonesia. Ia mengakui di Indonesia proses edukasi menghargai karya seni belum semaksimal seperti pengunjung di luar negeri.
Ia mencontohkan ketika menyambangi salah satu museum di luar negeri, Zamrud kerap berperilaku seperti pengunjung yang melanggar aturan. Hal tersebut sengaja dilakukannya dengan tujuan tertentu.
"Saya sengaja melakukannya untuk melihat bagaimana sanksi dari pihak museum. Saya beberapa kali melakukan pelanggaran dan ternyata yang dahsyat sanksinya adalah sanksi sosial. Pengunjung menganggap saya sebagai orang aneh, bukan seperti di kita yang justru diikuti orang lain," jelasnya.
Pihak Galeri Nasional Indonesia, diakui Zamrud punya cara tersendiri untuk mengatasinya. Yakni dengan menggelar program apresiator dan mengundang publik umum, murid sekolah, serta guru-guru.
"Keresahan dan masalah itu kita ubah menjadi strategi. GNI mengubahnya menjadi agen edukasi bersama, jadi saat mereka mengupload di Instagram, ketika ada followers yang bertanya itu karya apa dan di mana. Dan ketika yang punya akun nggak tahu, maka dia akan mencari tahu. Dia juga bisa datang lagi ke pameran dan mencari tahu. Itu adalah cara kami," tutur Zamrud.
Saraswati, 25 tahun, yang kerap mengunjungi berbagai pameran seni menuturkan sebenarnya selfie maupun menikmati karya seni bisa dilakukan secara bersamaan.
![]() |
"Kamu tetap bisa nikmatin karya seni, dan kalau mau selfie juga boleh. Tapi jangan sampai, selfie jadi tujuan utama. Karena seniman itu membuat instalasi pasti ada yang mau disampaikan. Nah sebaiknya, turut mencoba memahami apa yang ingin mereka suarakan. Jadi selfie boleh, asal tetap mengaapresiasi dan tidak menjadikan karya seni hanya sebagai background foto," ujarnya.
Saat mengunjungi Art Jog 11 yang berlangsung di Jogja National Museum (JNM), Saraswati pun bisa melakukan dua hal tersebut. Satu per satu karya seni diperhatikan, dibaca keterangannya, lalu dicatatnya. Di beberapa karya yang disukai, ia akan mengeluarkan telepon seluler untuk memotret karya tersebut.
"Dan yang paling penting harus menaati peraturan, kalau nggak boleh dekat-dekat ya jangan dekat-dekat. Kalau nggak boleh dipegang ya jangan dipegang," pungkasnya.
Simak artikel berikutnya!
(tia/doc)