Bermula dari kegemaran mengoleksi karya seniman-seniman lainnya, Nasirun merasa ada tanggung jawab untuk menyimpan karya. Tak terasa koleksinya sudah mencapai lebih dari ribuan dan disimpan dengan baik di area kediamannya.
"Saya takut mereka (seniman lain) dilupakan oleh generasi sekarang. Karena sebenarnya dari merekalah saya betul-betul ada prosesnya dan dalam situasi apapun mereka karya," tutur Nasirun ketika mengobrol dengan detikHOT di Bayeman, Jalan Wates, Yogyakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Menelusuri 'Harta Karun' Pelukis Nasirun |
Di era 1940, 1950, sampai sebelum Orde Lama banyak seniman yang tercipta berkat sanggar-sanggar seni. Dari situ, banyak sumber daya manusia yang menjamur tapi sayangnya tak banyak yang dikoleksi oleh kolektor.
Meski begitu, pria yang kerap tampil kasual itu merasa ada amanah tersendiri.
![]() |
"Saya juga bingung, kayaknya ada amanah tersendiri. Contohnya saja ketika Werner Krauss memberikan sketsa Raden Saleh, ia dikasih aja gitu cuma-cuma. Padahal kan penting sekali karya ini yah. Saya juga bingung," katanya lagi.
Selain itu, ada ratusan karya dari seniman Sanggar Bambu yang dikoleksi Nasirun. "Nggak banyak yang tahu, makanya saya koleksi dan cukup lengkap karyanya. Ya tujuan saya cuma satu untuk berbagi ke anak muda agar tidak melupakan sejarah," jelas Nasirun.
"Ini bukan soal uang tapi soal riset. Siapapun boleh meriset karya di sini," tambahnya lagi.
![]() |
Di antara ribuan koleksi ada lukisan karya Umi Dahlan, lukisan karya RM Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara yang berobyek sepeda motor. Ada juga koleksi karya pelopor perupa perempuan Indonesia Emiria Sunassa dari tahun 1933.
Selain itu masih ada koleksi sketsa dari Hendra Gunawan, S.Sudjojono, sampai perancang mata uang pertama di Indonesia Oesman Effendi dan Abdul Saman.
"Orientasi saya untuk mengedukasi, bukan profit. Kalau profit saya pasti menjual lukisan. Siapapun boleh datang ke museum ini asalkan sesuai dengan janji bersama tim saya," pungkasnya.
(tia/nu2)