Diadaptasi dari novel populer karya Ernest Cline, Reasy Player One menceritakan tentang perjalanan seorang pemuda bernama Wade Watts (Tye Sheridan) yang tinggal di daerah kumuh di Columbus, Ohio. Settingnya tahun 2045 di mana populasi manusia membengkak dan menyebabkan polusi. Orang-orang miskin seperti Wade tinggal di sebuah pemukiman kumuh yang terdiri dari tumpukan trailer. Hidup mereka memang menyedihkan tapi setidaknya mereka bisa menyenangkan diri mereka sendiri melaui Oasis.
Oasis adalah sebuah virtual reality ciptaan James Halladay (Mark Rylance) dimana penggunanya bisa merasakan apa saja yang mereka mau. Mereka bisa berpetualang, bersenang-senang, membasmi monster sampai pergi dugem. Di Oasis tidak ada yang tidak mungkin.
Ketika Halladay meninggal dunia, ia meninggalkan harta karun di Oasis. Ada tiga kunci yang ia tinggalkan dalam semesta Oasis. Siapapun yang mendapatkan tiga kunci itu tidak hanya mewarisi ratusan milyar milik Halladay namun juga memiliki Oasis sepenuhnya. Untuk itulah orang-orang seperti Wade berkompetisi untuk mendapatkan kunci-kunci tersebut. Keadaan semakin ramai ketika perusahaan VR rival Oasis bernama IOI berlomba-lomba untuk mendapatkan hal yang sama. Ketika akhirnya Wade berhasil mendapatkan kunci pertama, pertarungan sengit pun tak terelakkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Menerjemahkan semua keasyikan Cline ke format layar lebar bukanlah pekerjaan yang mudah. Untungnya Zak Penn dan Ernest Cline berhasil menyederhanakan bukunya menjadi lebih accessible. Penn dan Cline berhasil membuat setiap langkah yang dilakukan Wade menjadi fenomenal. Relationship Wade dengan Samantha (Olivia Cooke) juga cukup menjadi sub-plot yang menarik. Yang patut disayangkan adalah karena Penn dan Cline terlalu fokus untuk memasukkan (atau mengeliminasi) referensi pop culture dalam ceritanya, mereka lupa untuk membuat backstory dunia Ready Player One menjadi kuat. Kita hanya tahu dunia Wade melalui voice over, tapi kita tidak pernah benar-benar menyaksikan apa yang terjadi dalam dunia. Penggambaran IOI sebagai antagonis juga kurang kompleks. Kita tahu mereka jahat tapi kita tidak pernah merasa benar-benar dalam bahaya.
Skill Spielberg sudah tidak perlu dipertanyakan lagi sebagai seorang maestro sinema. Dalam Ready Player One ia menunjukkan bagaimana staging aktor berperan penting untuk menunjukkan siapa yang memegang kendali. Sebagai sebuah film yang fokus kepada dunia virtual, CGI berperan amat sangat penting. Disini pulalah Spielberg menunjukkan tangan dinginnya. Ia berhasil mengolah CGI menjadi sebuah bagian dari cerita, bukan hanya sekedar pamer spektakel agar Anda terkesima.
Seperti halnya Stranger Things, Ready Player One adalah sebuah produk yang menggunakan nostalgia sebagai bumbu penyedap. Dalam film ini Anda akan mendengarkan musik-musik klasik dan puluhan referensi pop culture yang tak ada habisnya. Dari video game sampai Back To The Future sampai The Shining mendapatkan spot untuk narsis. Di sinilah letak kekurangan dan kelebihan film ini. Bagi Anda yang mengenali referensi pop culture yang disajikan Spielberg, Ready Player One adalah sebuah perjalanan yang amat sangat menyenangkan. Anda akan tertawa terbahak-bahak (terutama ketika Wade dan kawan-kawan terjebak di Overlook Hotel) sampai merinding (ketika Iron Giant ikut berperang). Atau bisa jadi Anda akan kebingungan karena Anda merasa asing dengan referensi pop culture yang ditawarkan film ini.
Dengan virtual reality semakin dekat untuk menjadi bahan candu terbaru, Ready Player One sebenarnya mempunyai potensi untuk menjadi sebuah social commentary yang menarik. Tapi film ini memang dimaksudkan untuk menyenangkan para nerd di seluruh dunia. Dan di tangan Spielberg, perayaan pop culture tidak pernah terasa semenyenangkan ini.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International. (dal/dal)