Menjaga eksistensi bukan untuk populer tapi bagaimana Slamet Rahardjo konsisten dengan tujuannya. Setiap orang dari zamannya hingga zaman sekarang setiap orang punya cara masing-masing untuk bisa terkenal.
"Jadi kalau menurut saya, untuk anak anak Indonesia ini, jangan dibandingin. Kamu punya cara sendiri dalam mengungkapkan. Dulu mana berani gue sama bapak gue bilang 'bro' gitu. Tapi itu tanda intim. Karena dulu gue nggak bisa pake SMS," ucap Slamet saat berbincang dengan detikHOT di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya milih. Yang menghina kemanusiaan saya tolak. Jelas. Kenapa saya nggak pernah nonton sinetron? Nggak pakai logika. Ngapain, saya udah sekolah tinggi-tinggi, ngapain saya ancurin logika saya. Kan itu kurang ajar banget. Ada baby disakitin terus sama nyonyanya. Itu menghina kemanusiaan," katanya.
Slamet menilai film adalah bagaimana bicara tentang kehidupan. Kehidupan itu adalah Ilmu.
"Cara saya menjawab semua tadi, buku apa yang nggak saya baca. Beda loh. Kehidupan itu ilmu. Menurut saya, untuk mempertahankan supaya kita tetap memiliki kualitas, ya jaga kualitas dirimu dong. Kan kebudayaan bergulir terus. Yang tertinggal jadi sejarah, ya kalau kamu mau jadi sejarah yaudah nggak apa-apa. Kita taruh di museum saja," celetuk bintang film 'Pendekar Tongkat Emas' itu.
"Selalu Ditawarin. Saya nggak pernah datang, 'Pak saya mau main' nggak pernah. Sampai hari ini," tegasnya.
Menjadi seorang aktor itu tidak mudah. Slamet menceritakan saat dirinya adalah orang Jawa, berbicara logat Jawa, tiba-tiba harus memerankan seorang tokoh yang berbeda. Itu akan menjadi sesuatu yang luar biasa.
"Ke Makassar saya juga belajar. Saya pelajari seluruh Indonesia. Itu mempertahankannya begitu. Saya waktu jadi Teuku Umar (di film) saya berbahasa Aceh. Dan orang Aceh mengatakan wajar bahasa saya nggak kaku. Saya orang Jawa," cerita Slamet Rahardjo. (pus/wes)