Komunitas Salihara lewat program Musyawarah Buku pun mencoba mendiskusikan novel tersebut usai film pendeknya diputar. Guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) Melani Budianta mengatakan ketika pers tidak dibungkam saat ini dan kebebasan di mana-mana, sastra tetap harus berbicar.
"Kita mengalami ingatan pendek yang terus tergerus dan mengalir begitu saja. Buat saya, ingatan tentang 1998 sangat dekat dan 1965 saya masih kecil. Sastra mampu membiarkan ingatan dibangun dengan cerita berbeda tapi bicara tentang kebenaran," ujar Melani saat memulai presentasinya di Teater Salihara, Rabu (21/2/2018) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Novel 'Laut Bercerita' memiliki latar peristiwa 1998 tentang mahasiswa yang hilang diculik dan tidak diketahui keberadaannya. Lewat laut yang mulai menceritakan ulang kisah Biru Laut, Leila menuturkannya dalam dua sudut pandang karakter Biru Laut dan Asmara Jati.
![]() |
Kakak beradik yang mempunyai latar belakang berbeda dan sifat berbeda. Lewat oposisi biner antara introvet dan ekstrovert, lanjut Melani, Leila mampu menuliskannya dengan detil dan membuat pembaca terhanyut.
Menurut Melani, kekuatan dari novel tersebut terletak pada strategi bercerita dan mengolah rasa.
"Leila S.Chudori adalah seorang jurnalis, dan novel ini bermula dari peristiwa sejarah. Leila melakukan penelitian dan wawancara dan membuat sesuatu yang baru. Dia menuliskannya dengan genre realis," tuturnya.
Bahkan Melani sambil meledek menyebutkan di akhir presentasinya, "Leila bukan hanya sebagai sastrawan tapi juga terlihat aktivis," kata dia tertawa.
Diskusi yang berlangsung dua jam itu juga mendatangkan narasumber seperti Robertus Robert yang menceritakan tentang 'Ironi, Sastra, dan Politik Hak Asasi Manusia'. Serta Rocky Gerung dengan presentasi 'Sastra Sebagai Medium Politik'.
(tia/doc)