Para Penulis Perempuan yang Berkuasa di Nobel Sastra

Sejarah Nobel Sastra

Para Penulis Perempuan yang Berkuasa di Nobel Sastra

Tia Agnes - detikHot
Jumat, 06 Okt 2017 16:42 WIB
Para Penulis Perempuan yang Berkuasa di Nobel Sastra Foto: Tia Agnes/ detikHOT
Jakarta - Penulis perempuan menempati sisi tersendiri di panggung Hadiah Nobel Sastra. Akademi Swedia yang telah memberikan 114 penghargaan kepada penulis berbakat dunia, 14 di antaranya adalah perempuan.

Penulis asal Swedia Selma Ottilia Lovista Lagerlof menjadi perempuan pertama yang mendapatkan penghargaan Nobel Sastra di tahun 1909. Penghargaan diberikan atas tingginya idealisme, imajinasi, dan persepsi spiritual yang menjadi ciri dari tulisan-tulisannya.

Hampir 20 tahun berikutnya, nama Grazia Deledda asal Italia keluar sebagai pemenangnya. Dia dikenal dengan novel 'Reeds in the Wind' (1913), 'Elias Portolu' (1900), dan lain-lain. "Tulisan-tulisannya yang idealis terinspirasi kehidupan di pulau asalnya," begitu keterangan Akademi Swedia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Dua tahun berikutnya Sigrid Undset dari Norwegia juga meraih Nobel Sastra. Tulisannya tentang kehidupan di Utara selama Abad Pertengahan mampu menggetarkan penjurian dari tim Komite Akademi Swedia.

Selanjutnya ada Pearl Buck, Gabriela Mistral, Nelly Sachs, Nadine Gordimer, Toni Morrison, Wislawa Szymborska, Elfriede Jelinek, Doris Lessing, Herta Muller, sampai nama Alice Munro dan Svetlana Alexievich.

Nama Alice Munro yang tak diduga sama sekali oleh publik. Ketika publik mencuat dengan prediksi nama Ngugi wa Thiong'o dan Haruki Murakami namun novelis tersebut justru menang.



Penulis asal Kanada yang pernah menerima Man Booker International Prize (2009) itu memberikan pengaruh dalam karya sastra khususnya di bidang cerpen. Kemenangan Alice Munro di Nobel cukup unik karena untuk pertama kalinya cerpenis memenangkan penghargaan ini dan menjadi penulis perempuan ke-13.

Di posisi terakhir ada Svetlana Alexievich kelahiran Belarusia. Akademi Swedia menuliskan, "Hasil karya tulisannya yang polifonik menjadi monumen terhadap penderitaan dan keberanian dalam kehidupan masa kini," tulis Akademi Swedia.

Well, bagaimana menurut pembaca?



(tia/doc)

Hide Ads