"Sejak dikumpulkan sebelum Lebaran kemarin, ternyata ada 300an sajak tapi kami seleksi lagi," ujar penyusun buku Indah Tjahjawulan, di Assembly Hall, Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Kamis (7/9/2017).
Sajak-sajak yang terdapat di dalam manuskrip dari tahun 1958. Saat itu, tutur Sapardi, dia sedang gemar-gemarnya menulis. Bahkan dalam satu malam, dia bisa menulis sebanyak 18 sajak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lah saya masih galau-galau pas SMA dan jadi mahasiswa. Nggak bisa tidur ya nulis," ujar Sapardi Djoko Damono sembari tertawa.
Sajak yang ditulis tangan oleh Sapardi sudah dimulainya sejak tahun 1957 sampai 1970. Namun di dekade 1970-an, pria kelahiran Solo itu memilih pindah ke mesin tik.
Kini, jika ditanyakan lebih memilih menulis di mesin tik atau komputer? Sastrawan yang nyentrik dan selalu ramah pada siapapun itu dengan tegas memilih alat yang milenial.
"Komputer sajalah," tutup Sapardi Djoko Damono. (tia/dar)