Misalnya, di hari kenaikan kelas putri semata wayangnya, di antara para orangtua murid yang tengah antre di depan kelas untuk menerima laporan perkembangan anak-anak mereka di tahun ajaran yang baru lewat, ia diam-diam bisa bergumam di pojokan: di hari yang begitu riuh rendah/ hari yang penuh harapan akan masa depan yang cerah/ apakah masih ada yang bisa membaca ketakutan/ keraguan/ ketidaktahuan/ yang hati-hati disembunyikan/ dilipat-lipat di pojok lemari tua/ terselip di sarung bantal/ ditinggal/ agar lekas dilupakan/ di rumah yang dijaga pembantu.
Sekali lagi, tentu saja, namanya juga penyair! Tapi, lagi-lagi, sebenarnya bukan itu penyebabnya. Penyair bernama lengkap Gratiagusti Chanaya Rompas itu, seperti belakangan dia sendiri baru tahu, ternyata mengidap bipolar. Maka, acara sore itu, sebagai sebuah acara peluncuran buku kumpulan puisi, menjadi perhelatan paling unik di dunia. Bukan menghadirkan kritikus atau pengamat sastra untuk membahas puisi-puisinya, melainkan justru menampilan psikolog, psikiater dan sesama mengindap bipolar sebagai narasumber.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya baru mengetahuinya pada 2015, ketika itu tubuh saya tak kuat menyimpan berbagai perasaan-perasaan yang membingungkan yang saya rasakan sejak kecil, dan hanya saya simpan sendiri. Sampai akhirnya saya dilarikan ke UGD, dua kali dalam sebulan, dan didiagnosis bipolar disorder non specific," tutur Anya di acara launching yang diberi tajuk 'Puisi dan Perjalanan ke Dalam Diri' di Nitro Coffee, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2017) malam.
Dalam panggung perpuisian, Anya bukanlah nama baru. Dia salah satu pendiri Komunitas Bunga Matahari (BuMa), sebuah perkumpulan para penulis puisi yang menyiarkan karya-karya mereka secara online. Anya sendiri menulis puisi sejak 1997.
"Sejak kecil saya sering bertanya, kok semua orang kayaknya seneng terus, tapi kenapa saya kadang seneng kadang sedih. Sampai saya abege masih kepikiran terus, tapi saya pikir, ah normal orang punya mood bagus mood jelek, mungkin karena PMS. Saya terus simpan sendiri," kenang Anya.
"Puisi-puisi dalam kumpulan ini saya tulis dari tahun 1997 sampai awal 2016. Sejak saya mulai menulis puisi, saya merasa lewat puisi bisa lebih mengerti diri saya sendiri. Pertama nulis puisi untuk tugas sekolah, dan saya merasa ini format yang pas untuk mengekspresikan perasaan saya. Saya jadi bisa melihat kebingungan yang saya rasakan di kepala, terwujud di depan mata, menjadi tulisan yang bisa dibaca, ini tho yang gue rasain," sambung lulusan Sastra Inggris UI dan program pascasarjana The Gothic Imagination di University of Stirling, Skotlandia itu.
Maka, jangan heran, jika membaca buku kumpulan puisi Anya 'Non-Spesifik', yang berisi 100 lebih puisi, pembaca akan menemukan ledakan-ledakan perasaan yang berubah-ubah. Penyair Cyntha Hariadi, penulis buku kumpulan puisi 'Ibu Mendulang Anak Berlari', melukiskan bahwa membaca buku kumpulan puisi Anya seperti naik roller coaster. Sedangkan novelis Eka Kurniawan menyebutkan, lewat 'Non-Spesifik' Anya mengajak pembaca puisi-puisinya untuk mengunjungi ruang-ruang personalnya. 'Non-Spesifik' diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (mmu/wes)