Eksibisi berjudul 'Artist and Empire: Facing Britain's Imperial Past' debut di Tate Britain London pada November 2015. Setahun kemudian, karya-karya tersebut diboyong ke Galeri Nasional Singapura, mulai dari 6 Oktober hingga 26 Maret 2017.
Salah seorang kurator, Melinda Susanto, yang menemani awak media keliling menjelaskan mengenai beragam karya. "Pameran ini tak hanya menampilkan masa keemasan dari lukisan-lukisan kolonial Inggris, tapi juga kritik atas seniman kontemporer terhadap kolonialisme," katanya, kepada awak media termasuk detikHOT di Galeri Nasional Singapura, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Lukisan-lukisan ini ada yang berusia 400 tahun, dan di sisi sebelah sana ada bagian kontemporernya," ujar Susanto.
Pameran dibagi ke dalam dua bagian, yakni 'Countering the Empire' dan 'Encountering Artistic Legacies'. Karya-karya kontemporer ditempatkan di samping karya-karya bersejarah Inggris.
Di bagian pertama, pengunjung akan menulis dengan Sir Stamford Raffles, pendiri Singapura modern yang dilukis oleh George Francis Joseph di tahun 1817. Raffles digambarkan duduk dengan anggunnya dan merupakan contoh dari lukisan klasik.
Seniman kontemporer yang berpartisipasi di antaranya adalah Lee Wen (Singapura), Yee I-Lann (Malaysia), Hew Locke (Inggris), Andrew Gilbert (Skotlandia), Singh Kembar (Inggris) dan Michael Cook (Australia) serta dua seniman komisi dengan Wong Hoy Cheong (Malaysia) dan Erika Tan (Singapura).
(tia/dar)