Dalam 'Semar Gugat' karya Nano Riantiarno, karakter Srikandi diperankan oleh Rangga Riantiarno dan Arjuna oleh Daisy Lantang. Penerapan karakter yang tidak sesuai gendernya tersebut, diakui sang sutradara sama seperti pertunjukan yang dipentaskan 21 tahun yang lalu. Karakter Kalika dan Betari Permoni pun dalam naskah adalah perempuan, tapi dimainkan oleh pria.
Ditemui usai pagelaran 'Semar Gugat', Nano mengatakan alasannya. "Jauh sebelum Semar Gugat dipentaskan sekarang atau 21 tahun yang lalu, belum ada kebijakan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dan kami mementaskannya bukan karena fenomena itu tapi jauh sebelum ada kebijakan, naskah ini sudah ada," tegas Nano pada awak media.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nano menceritakan dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia, pemakaian karakter yang tak sesuai gender sudah terjadi sejak puluhan tahun bahkan berabad-abad lamanya.
"Naskah Shakespeare juga gitu, dulunya Juliet dimainkan oleh laki-laki baru ada filmnya jadi perempuan. Di Indonesia juga gitu, persoalannya bukan persoalan gender kebalik atau gimana. Intinya jangan bikin sesuatu (kebijakan) yang belum menguasai seni pertunjukan," kritik pendiri dari grup teater yang kini berusia 39 tahun itu.
Dikutip dari buku acara 'Semar Gugat', pementasannya dibentuk karena perkawinan tiga gaya yang menjadi kekuatan dari Teater Koma sejak awal berdiri 1977 silam. Yakni, ludruk, srimulat, dan pewayangan.
Baca Juga: 'Semar Gugat' ala Teater Koma Mengkritik Siapa?
Dalam ludruk, pemeranannya terbilang unik karena sebagian besar peran wanita dimainkan oleh laki-laki dan para pemain diwajibkan berperan sebagai siapa pun. Sedangkan wayang, punya pola pemeranan yang khas pula. Peran Arjuna seringkali dimainkan oleh wanita dalam setiap pertunjukan dengan berbagai adaptasi. Serta, gaya Srimulat ada spontanitas serta improvisasi para aktornya yang sanggup melahirkan suasana segar yang intim.
"Jadi lakon yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan trus sebaliknya itu ya konsep dari ludruk," tambah Nano.
(tia/mmu)