3 Kampung Urban di Jakarta Biennale 2015

3 Kampung Urban di Jakarta Biennale 2015

Tia Agnes Astuti - detikHot
Minggu, 15 Nov 2015 13:33 WIB
Jakarta -

Seni itu kompleks dan kurator yang membuatnya menjadi sederhana. Ungkapan yang dikatakan oleh Charles Esche, kurator internasional Jakarta Biennale 2015 mungkin benar.

Bagaimana tidak, karya seni dari 70 seniman Tanah Air dan mancanegara dipajang dengan konsep 'membumi', dibuat 'sesederhana' mungkin, tak beraturan, dan lepas dari konsep sebuah galeri ternama. Dibuka di Gudang Sarinah Jalan Pancoran Timur Jakarta Selatan, semalam, festival seni ini berlangsung sampai 17 Januari 2016 mendatang.

Jika kebetulan tengah berada di sekitar kawasan Pancoran, singgahlah ke gudang seluas 3000 meter persegi. Ketika mencapai gudang pertama dengan tulisan lobi masuk, maka pengunjung akan disapa oleh booth 'Seni Rupa Kita' bersama program edukasi publik Duta Seni. Serta booth 'Freely Market' yang setiap akhir pekan, pengunjung bisa mengambil gratis barang-barang pajangan layaknya sebuah minimarket.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di gudang pertama ini pula terdapat ruang simposium dan seminar dengan serangkaian program menarik. Di sebelahnya lagi terdapat kantin, dan skatepark sebagai area bermain pecinta skateboard.

Beralih ke gudang kedua, jangan lewatkan keindahan dari mural 5 seniman perempuan Indonesia. Mereka adalah Cut Putri (Banda Aceh), dari Jakarta ada NUR, Aprilia Hapsari, Wonderyash, Sanchia T.Hamidjaja, dan Marishka Soekarna asal Depok.

Lanjut ke area utama dari Jakarta Biennale 2015. Seniman asal Bali Jonas Sestakresna dengan 'Human is Alive' menyapa pengunjung. Bangunan yang terbuat dari kayu dengan dua tingkat tersebut dapat dinaiki dan berbicara tentang eksploitasi terhadap alam. Di sisi kiri, ada karya pendiri Taring Padi Yogyakarta, Setu Legi dengan judul 'Masa Depan Tenggelam dalam Masa Silam.

Ditemui sebelum pembukaan, Charles Esche menyebutkan jika display karya seni Jakarta Biennale kali ini menyerupai sebuah kampung urban yang ada di ibukota. "Di sini ada tiga kampung dan sengaja dibuatkan seperti bedeng dengan material kayu dan seng-seng," katanya.

Dikomandoi oleh Irma Chantily, kurator asal Jakarta, dia menjelaskan bahwa karya yang dipajang tidak akan ditemui konsep seperti galeri bersih. "Kami membuatnya dengan banyak gang dan pintu masuk, ada yang sempit dan jalan lebar. Tak beraturan," jelas Irma.

Di kampung pertama, maka akan banyak ditemui video art dari seniman. Termasuk Lab Laba Laba dengan 'Antik-antik Tetap aja Dongkrak', seniman London Jeremy Millar lewat 'Abdo Rinbo', karya seni tentang asal mula mitos kuntilanak karya Yee I-Lann dari Kualu Lumpur. Serta karya fotografi soal pasangan transgender dan homoseksual ciptaan Maika Elan 'The Pink Choice'. "Kami akan menutup sebagian pintu masuk dengan kain hitam. Karena sesuai dengan budaya Timur," ujar Irma.

Beralih ke kampung kedua ada Tita Salina dengan 'Pulau 1001' yang diangkutnya dari perairan di utara Jakarta. Arahmaiani yang mengangkat isu kekerasan yang terdapat dalam tumpukan pakaian. Jangan lewatkan pula dengan mural seniman Aceh, Idrus bin Hasan. Lewat gambar yang menyerupai burung Garuda, ia menceritakan sejarah Aceh dan kondisinya hingga kini.

Terakhir kampung ketiga, menawarkan karya-karya seni sarat dengan isu politik, lingkungan hidup khususnya air dan tambang, persoalan reklamasi Bali, kritik terhadap peristiwa suku Aborigin dan warga Selat Tores lewat Richard Bell 'Embassy'. Serta yang tak kalah menarik adalah area bermain seluas 1000 x 1000 x 30 sentimeter 'Syntax System' ciptaan Peter Robinson asal Auckland. Selain mereka semua, masih ada 54 seniman lainnya.

Silakan datang beramai-ramai, ikuti program menariknya, selfie bareng karya, dan sebarkan ke media sosial! Festival ini gratis dan bebas bagi siapapun. Tertarik menjelajahi Jakarta Biennale 2015?

(tia/kmb)

Hide Ads