TIM dari Masa ke Masa

Taman Ismail Marzuki, Riwayatmu Kini

TIM dari Masa ke Masa

Tia Agnes Astuti - detikHot
Rabu, 14 Jan 2015 14:14 WIB
Dok.Tia Agnes/ detikHOT
Jakarta - Taman Ismail Marzuki (TIM) menjadi sentra kesenian dan kebudayaan sejak didirikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 10 November 1968 silam. Berbagai pementasan dari teater, tari, sastra dan seni rupa berkembang di sana.

Sebut saja seperti perhelatan Festival Teater Jakarta (FTJ) yang sudah berjalan hingga tahun ke-43, Pekan Komponis Indonesia yang menghadirkan bibit-bibit berbakat di bidang seni musik hingga agenda seni rupa dua tahunan, Jakarta Biennale.

Selain itu, banyak seniman Tanah Air pun yang hidup mematangkan karya-karyanya di TIM. Misalnya penyair Jose Rizal Manua yang juga pendiri Teater Tanah Air, pengamat sastra HB Jassin yang kini terdapat Perpustakaan HB Jassin, sastrawan WS Rendra, Putu Wijaya, dan sebagainya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di masa itu, TIM menjadi satu-satunya tempat kebudayaan yang menjadi tolak ukur pementasan maupun pameran. "Di masa itu, seniman berbondong-bondong mau menjadi yang terdahulu berpameran atau pentas," ujar inisiator Indonesian Dance Festival (IDF) Nungki Kusumastuti di Galeri Cipta II, TIM, semalam.

Kultur dan gaya hidup dari para seniman TIM pun menjalar ke taman budaya dan tempat berkesenian di wilayah dan kawasan lainnya di Indonesia. Nungki juga menjadi salah satu seniman lintas dekade yang merasakan perubahan zaman dan kebijakan di ibukota. "Saat masa Ali Sadikin, TIM belum serumit ini dan galeri seni di Jakarta belum sebanyak sekarang. Situasi dulu dan sekarang sudah berbeda, makanya perlu dialog dan ditinjau ulang," kata Nungki.

Di atas tahun 2005-an, booming seni rupa di tingkat internasional berdampak ke galeri di Jakarta. Banyak galeri seni privat milik kolektor didirikan. Seperti yang berada di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Ditambah lagi dengan perkembangan galeri-galeri di mal, pusat perbelanjaan maupun kantor di Jakarta.

Di antaranya galeri seni di The Goods Departement Pasific Place, Ciputra ArtPreneur di Lotte Shoping Avenue, Galeri Indonesia Kaya di Grand Indonesia hingga di basement UOB Plaza, Thamrin, Jakarta Pusat.

"Apakah dengan ditingkatkan anggaran hibah kepada TIM, seniman bisa membuat karya lebih baik. Ini yang menjadi tantangan bagi seniman untuk saling bikin karya yang disukai publik," ungkap Ketua Harian DKJ, Irawan Karseno usai rembukan, semalam.

Atau, kata Irawan, dengan tidak terbentuknya Unit Pengelola Teknis (UPT) yang mengatur pengelolaan TIM, apakah akan membuat pertanggungjawaban hibah sekitar Rp 15 miliar tersebut menjadi transparan?

"Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang belum bisa ditemukan solusinya dan akan tetap berinteraksi dengan pejabat terkait," ucap seniman kontemporer kelahiran Surabaya. Kini, dengan hadirnya berbagai galeri seni baru di ibukota, TIM memiliki rival dan harus berusaha lebih selektif lagi guna menghadirkan seniman yang berkompeten serta kembali dilirik dunia internasional.

(tia/mmu)

Hide Ads