"Kayaknya pernah denger..." bisik salah seorang penonton yang memadati Teater Kecil, TIM, Jakarta, Kamis (23/10) malam begitu intro lagu kedua dimainkan. Di panggung, komponis muda Migi Puspita Parahita berdiri membelakangi penonton. Ia menjadi konduktor untuk 7 pemain musik yang tampil membuka acara Pekan Komponis Indonesia 2014 yang kali ini mengangkat tema 'Keroncong Riwayatmu Kini'.
Keroncong? Jangan buru-buru membayangkan perempuan berkebaya dan bersanggul yang menyanyi mendayu-dayu tentang lambaian nyiur di tepi pantai atau tentang sungai yang mengalir sampai jauh. Tentu saja, musik keroncong memang tak bisa dipisahkan dengan, misalnya, lagu 'Bengawan Solo' yang pada malam itu --akhirnya-- dibawakan juga, oleh penampil senior Sundari Soekotjo.Tapi, acara persembahan Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta yang dihidupkan lagi sejak 3 tahun lalu itu seolah mengingatkan kembali, bahwa keroncong adalah musik yang dinamis.
Migi masih muda, mengenakan celana hitam dan baju dengan warna sama. Rambutnya dikuncir sekenanya. Ditambah dengan sepatu boot yang dikenakannya, ia lebih mengesankan sebagai seorang rocker ketimbang konduktor orkes keroncong. Ia membuka panggung dengan komposisi ciptaannya sendiri, 'Mentari Malam', sebelum kemudian menyambungnya dengan lagu 'Aksi Kucing' karya Oey Yok Siang dari khasanah musik era 1960-an.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keroncong pakai flute mungkin sudah biasa ya, tapi saya juga memasukkan obo dan klarinet. Tanpa cak-cuk. Wah, gimana ini keroncong nggak pakai cak-cuk? Saya menyiasatinya dengan violin dan viola yang selain digesek juga bisa dipetik," terangnya dengan gaya yang santai usai tampil.
Alat-alat musik tiup juga menjadi andalan Nicolaus Edwin yang tampil berikutnya. Komponis muda ini menjadi konduktor sekaligus memainkan saksofon. Dua lagu --lagi-lagi tanpa vokal-- dengan indah dimainkannya, yakni 'Sepasang Mata Bola' karya Ismail Marzuki dan 'Di Bawah Sinar Bulan Purnama' karya R Maladi. Sama halnya dengan Migi, Nico juga bereksperiman dengan bunyi-bunyian dari alat-alat tiup untuk menghasilkan komposisi yang "keroncong banget".
"Saya sendiri basic-nya memang saksofon, jadi tantangannya gimana menggantikan bunyi-bunyi gitar dan cak cuk dengan bebunyian yang dihasilkan dari alat-alat musik tiup ini," tuturnya. Begitulah, di tangan anak-anak muda itu keroncong tak hanya jadi musik yang akrab tapi keseluruhan suasana panggung pun menjadi riang dan penuh canda. Usai tampil, Nico memanggi Migi untuk "memandu"-nya bicara kepada penonton. Jadilah semacam talkshow kecil yang hangat, penuh tawa tapi membuka wawasan tentang "riwayatmu kini" dari musik yang telanjur dicitrakan sebagai "bikin ngantuk" itu. Bahwa, sebagai bagian dari kekayaan musik tradisi di Indonesia, keroncong bukanlah "musik orang tua" seperti anggapan umum selama ini.
Di penghujung acara, penonton disuguhi penampilan sang "buaya keroncong" --demikian istilah lama yang malam itu dilontarkan kembali oleh pembawa acara-- Sundari Soekotjo yang berduet dengan penyanyi-penyanyi muda, termasuk putrinya sendiri Intan Soekotjo. Sundari berkolaborasi dengan Lantun Orchestra, dan membawakan lagu-lagu keroncong lintas daerah, dari Jawa hingga Betawi. Pada setiap pergantian lagu, ia bicara kepada penonton, menceritakan proses kreatifnya selama ini sebagai salah satu diva keroncong barisan terdepan.
"Saya belajar menyanyi keroncong sejak SD, pada pertengahan 1970-an. Setelah dua tahun saya tanya ayah, apakah saya sudah menjiwai keroncong? Belum, nduk, katanya. Waduh, dua tahun dan dinilai belum berhasil. Ternyata, semua butuh proses yang panjang. Kata kuncinya ada di jam terbang, ini yang selalu saya tekankan kepada anak-anak muda yang menekuni keroncong," tuturnya dengan suara lembut.
Dan, semua kegayengan itu barulah pertunjukan hari pertama. Masih ada tiga hari lagi sampai Minggu (26/10) nanti dengan penampilan-penampilan komponis muda lainnya. Sempatkanlah untuk menonton, dan temukan sebuah dunia kecil yang menyenangkan di luar hingar-bingar industri musik pop yang hits di radio dan panggung-panggung live penuh joged di layar televisi.
(mmu/mmu)