Menonton komedi romantis (rom-com) buatan Netflix adalah sebuah pertaruhan. Kadang Netflix bisa memproduksi rom-com yang cukupan seperti Always Be My Maybe, Set It Up, Holidate atau Someone Great. Tapi tidak jarang juga hasilnya membuat saya garuk-garuk kepala seperti film-film yang dimainkan Vanessa Hudgens (cocok ditonton saat sedang ngantuk atau sambil main ponsel) atau franchise The Kissing Booth (kalau Anda hanya mau melihat aktor-aktor cakep muncul di layar). Love At The First Sight yang diadaptasi dari buku berjudul The Statistical Probability of Love at First Sight saya pikir juga akan berakhir seperti judul-judul kedua. Tapi siapa sangka ternyata rom-com yang satu ini memiliki keunyuan yang cukup untuk membuat saya tersentuh.
Karakter utama Love At The First Sight adalah Hadley Sullivan (Haley Lu Richardson), seorang mahasiswa yang terlambat naik pesawat ketika dia mau ke London menghadiri pernikahan ayahnya. Kadang kala musibah bisa membawa kita ke rezeki yang tidak disangka-sangka dan itulah yang terjadi kepadanya. Di sana dia bertemu dengan Oliver Jones (Ben Hardy), seorang mahasiswa dari Yale yang mau pulang ke London untuk sesuatu.
Mereka bercengkerama, saling bertukar informasi sambil setengah tebar pesona saling goda. Bagaimana mungkin mereka tidak saling goda? Keduanya adalah orang-orang yang memiliki atribut fisik yang menggemaskan. Hadley cantik dan Oliver juga cukup tampan. Di dalam pesawat keberuntungan mereka bertambah ketika sabuk pengaman Oliver rusak yang membuatnya duduk di samping Hadley. Di sana mereka melanjutkan obrolan mereka yang tentu saja membuat hubungan mereka menjadi semakin dekat. Ketika mereka berpisah di London, keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Apakah pertemuan mereka hanyalah sebuah ketidaksengajaan atau ini adalah takdir?
Seperti halnya produk romcom Netflix lainnya, Love At The First Sight adalah konten Netflix yang visualnya bisa Anda bayangkan. Pilihan shot-nya standar meskipun dalam kasus film ini referensi Wes Anderson dan kesimetrisannya terasa tepat guna. Warna-warna terang memenuhi layar dengan lokasi-lokasi yang eksotis. Tapi ternyata hanya di situ saja yang membuat film ini terasa familiar dengan film-film Netflix yang lain karena Love At The First Sight ternyata memiliki cerita yang lumayan.
Menggunakan statistik sebagai alat (atau pengingat?), Love At The First Sight cukup baik memainkan emosi penonton. Di sini Jameela Jamil memerankan berbagai sosok untuk berbicara ke karakter langsung tentang statistik yang terjadi di kebanyakan situasi. Koneksi antara kedua karakter utamanya, walaupun kelihatan terlalu klise dan terlalu mengada-ngada, ternyata tetap membuat cerita ini menjadi masuk akal. Chemistry antara Haley Lu Richardson dan Ben Hardy yang baik juga membantu untuk membuat saya percaya dengan berbagai skenario yang terjadi diantara mereka.
Yang juga membuat film ini akhirnya menjadi lebih dari sekadar rom-com buatan Netflix adalah bagaimana Katie Lovejoy, penulis skripnya, menaruh masalah yang serius ke kehidupan karakter utamanya. Daya tarik film ini memang soal masalah percintaan tapi baik Hadley dan Oliver memiliki masalah yang serius bagi mereka. Hadley punya daddy issues dan Oliver belum siap kehilangan ibunya yang menderita kanker. Masalah yang nyata ini pun akhirnya membuat mereka berdua menjadi tiga dimensional, bukan sekadar remaja yang didefinisikan oleh cinta mereka.
Sebenarnya di dalam Love At The First Sight ada sebuah film yang kalau dibuat lebih serius akan menjadi lebih dari sekedar konten Netflix. Tapi potensi itu seperti disia-siakan karena memang film ini sepertinya tujuannya memang untuk membuat penonton merasakan kehangatan di ruang televisi atau di mana pun Anda menyaksikan film ini.
Dengan durasi yang sangat bersahabat (91 menit), Love At The First Sight adalah sebuah tontonan menyenangkan yang sangat saya rekomendasikan untuk mengisi akhir pekan Anda.
---
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(aay/aay)