Sedari awal, Antlers yang disutradarai oleh Scott Cooper, sudah mengatur mood dan tone depresif dengan sempurna. Visualnya pun membuat penonton merasa cemas dan tidak nyaman. Warna-warna gelap dan kumas, pemandangan bangkai binatang, dilengkapi dengan semua berita buruk yang harus diterima karakter-karakternya, Antlers sudah horor duluan bahkan sebelum monster legendaris menyusup ke layar.
Tokoh utamanya adalah Julia (Keri Russell), seorang guru yang kembali ke kampung halamannya yang nelangsa setelah dia kabur ke kota lain atas trauma masa lalu. Dia tinggal bersama adiknya, Paul (Jesse Plemons), yang sekarang menjadi sheriff lokal. Pekerjaannya terlihat mulia tapi sebenarnya ini adalah keterpaksaan karena tidak ada yang mau mengerjakan pekerjaan berat yang dilakukan oleh Paul. Sekilas, reuni antara adik kakak ini terasa mengharukan. Tapi ketika Cooper mengajak penonton untuk menyelami sejarah mereka lebih dalam, luka yang ada ternyata cukup dalam.
Kemudian ada Lucas (Jeremy T. Thomas), murid Julia yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya bentuk fisiknya sangat kurus dan tidak terurus, Lucas seperti ketakutan setiap saat. Tidak hanya Lucas harus menghadapi bully yang mengganggunya di sekolah, Julia menemukan Lucas sepertinya disiksa di rumah. Hal yang dia sangat familiar berkat kelakuan ayahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diproduseri oleh maestro film makhluk-makhluk dan misteri, Guillermo del Toro (yang film terbarunya Nightmare Alley juga sedang tayang di bioskop), Antlers tentu saja menyajikan makhluk yang lumayan bikin merinding. Meskipun mitologi makhluk tersebut tidak dibangun dengan baik (skripnya ditulis oleh C. Henry Chaisson, Nick Antosca dan Scott Cooper sendiri), tapi setidaknya ketika ia beneran meneror, para penggemar film sejenis sepertinya tidak akan kecewa.
Sebagai film thriller berbau horor, Antlers mungkin tidak semenegangkan A Quiet Place. Tapi suasananya yang angker cukup membuat saya betah saat menontonnya. Visual yang kelam dan depresif menjadi sangat kontras ketika darah bercucuran dimana-mana. Bahkan ketika Cooper menyimpan monsternya di babak ketiga, ketegangan yang ia bangun cukup membuat saya berhati-hati.
Tidak sulit sebenarnya untuk melihat Antlers sebagai alegori tentang trauma. Apalagi "mitos" yang dipersembahkan di film ini adalah tentang makhluk yang berpindah badan. Nampaknya ini juga menjadi tren film horor jaman sekarang yang lebih dari sekedar jump scare dan cheap thrills. Keputusan Cooper untuk mengeksplor ini, terutama ketika penonton diajak berkenalan dengan trauma Julia, membuat Antlers menjadi agak lebih berbobot. Sungguh asyik sekali menyaksikan dinamika hubungan antara Julia dan Paul, yang dimainkan dengan sangat baik oleh Keri Russell dan Jesse Plemons, dengan latar belakang film monster.
Tidak semua penonton mungkin akan menikmati Antlers. Pace-nya memang agak lambat. Dan sebagai film yang menawarkan teror, ia justru lebih fokus dengan suasana daripada teror itu sendiri. Ia juga kadang bingung menjadi film apa (drama tentang abuse atau film monster?). Tapi jika Anda pecinta slow-burning dengan babak ketiga yang lumayan menghentak, Antlers amat sangat saya rekomendasikan. Dengan visual yang top markotop, akting pemainnya yang jempolan (Jeremy T. Thomas akan membuat Anda sedih), dan teror yang dibuat dengan cukup grafis, Antlers adalah sebuah thriller horor yang layak untuk dicicip.
Antlers dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.
--
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.