Escape Room yang dirilis dua tahun lalu rupanya menjadi film yang sukses. Film yang menceritakan tentang orang-orang yang harus menyelesaikan teka-teki atau kalau tidak mereka akan tewas itu ternyata berhasil mengumpulkan 150 juta dolar dengan bujet hanya 9 juta dolar. Tidak mengherankan studionya langsung tancap gas untuk membuat sekuel.
Diberi judul Escape Room: Tournament of Champions, film ini melanjutkan kisah dua tokoh yang selamat dari film pertamanya Zoey (Taylor Russell) dan Ben (Logan Miller) yang berusaha untuk membongkar siapa sebenarnya Minos Corporations dan kenapa mereka hobi sekali menyiksa orang. Perjalanan ini membutuhkan energi dan tenaga yang ekstra karena seperti yang kita ketahui dari film pertamanya, Zoey mempunyai ketakutan dengan pesawat terbang setelah berhasil menjadi sole survivor dalam sebuah kecelakaan.
Dalam perjalanan, seseorang mencuri tas mereka yang akhirnya membuat Zoey dan Ben berlari mengejar si pencuri. Kejar-kejaran ini membawa mereka ke dalam kereta bawah tanah dan di sana akhirnya mereka bertemu dengan Rachel (Holland Roden), Brianna (Indya Moore), Nathan (Thoms Cocquerel) dan Theo (Carlito Olivero). Ketika mereka tersadar bahwa kereta yang mereka tumpangi adalah jebakan dan ini adalah kerjaan Minos lagi, mereka semua akhirnya harus bersama-sama menyelesaikan permainan ini kalau mereka masih mau selamat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejujurnya, film pertama Escape Room adalah sebuah thriller yang cukup meskipun dia sangat main aman. Salah satu faktor yang membuat film tersebut enak dinikmati adalah idenya yang lumayan fresh dan penyutradaraan Adam Robitel yang berhasil membangun suspense. Ketegangan yang ia rangkai lumayan efektif untuk membuat saya menahan nafas melihat karakter-karakter ini mencoba untuk menyelesaikan teka-teki demi teka-teki agar mereka bisa keluar dengan semangat.
Dengan judul Escape Room: Tournament of Champions, film ini ternyata mengecewakan karena ia tidak menawarkan hal yang baru. Meskipun karakter-karakter dalam film ini ceritanya adalah pemenang dari game-game yang sudah dibuat oleh Minos sebelumnya, tidak ada upgrade dari permainan yang disediakan. Tidak ada set pieces yang membuat saya terkejut atau membuat saya menganga. Kejutan yang ada di ending pun tidak memberikan sesuatu yang berarti. Semuanya berlalu begitu saja.
Sebenarnya apa yang ditawarkan oleh film ini tidak ada bedanya dengan film pertamanya. Dalam artian, Escape Room: Tournament of Champions masih lumayan memberikan ketegangan dan keseruan. Adam Robitel masih lumayan ahli untuk membangun tensi. Tapi setelah Squid Game berhasil mendunia dan ia menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar "permainan melawan nyawa", Escape Room: Tournament of Champions terasa seperti sangat hambar.
Permainan-permainan yang ada di film ini memang lebih sophisticated dan canggih. Tapi secara emosi, saya tidak pernah terlibat di dalamnya. Saya tidak peduli apakah orang-orang yang sangat good looking ini selamat atau tidak. Karena memang penulis skripnya (Will Honley, Maria Melnik, Daniel Tuch dan Oren Uziel dengan cerita dari Christine Lavaf dan Fritz Bohm) mendesain filmnya seperti escape room itu sendiri. Film ini tidak ada bedanya seperti torture porn ala Saw. Karakter-karakter pendukungnya hanya berfungsi sebagai dekor saja karena mereka akan mati.
Ending film ini, seperti film pertamanya, sekali lagi mengundang penonton untuk membayangkan apa yang terjadi dengan petualangan karakter utamanya. Apa yang akan terjadi dengan jilid Escape Room berikutnya? Kalau ternyata film berikutnya masih seperti ini, sepertinya Escape Room membuang potensinya untuk menjadi serial yang menggugah selera.
Escape Room: Tournament of Champions dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.
--
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(aay/aay)