Munich: Patriotisme Terorisme

Munich: Patriotisme Terorisme

- detikHot
Jumat, 14 Apr 2006 11:23 WIB
Jakarta - Ketika nasionalisme dijadikan pembenaran atas tindak terorisme, ketika damai tidak dijadikan pilihan, ketika itu pula seorang pria tampan yang menangis saat anak pertamanya bisa menyebut kata "ayah" memutuskan untuk menjadi pembunuh. 1972. Di tahun tersebut, pesta olahraga akbar yang berlangsung di Munich, Jerman, dikotori oleh aksi terorisme yang dilancarkan orang-orang Palestina. Mereka membunuh 11 atlet asal Israel. Perampasan tanah Palestina oleh Israel dijadikan alasan di balik pembantaian tersebut. Warga Israel murka. Untuk membalas sakit hati warganya, perdana menteri Israel yang kebetulan seorang wanita secara diam-diam membentuk kelompok rahasia beranggotakan lima orang. Avner. Pria biasa yang tengah menanti kelahiran anak pertamanya ini dipilih menjadi pemimpin kelompok tersebut. Tugas utama Avner, melenyapkan orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan tragedi Munich.Dengan alasan membela tanah air, Avner menerima tugas yang ia anggap mulia itu. Ia pun meninggalkan keluarganya di Israel dan pindah ke Eropa. Dengan bantuan seorang informan, Avner mulai membunuhi sederet orang Palestina yang menurutnya bertanggungjawab atas kepedihan hati rakyat Israel. Korban pertamanya tewas akibat peluru. Namun nyawa korban-korban berikutnya melayang akibat ledakan bom. Avner sudah memiliki cap yang sama dengan korban-korbannya. Cap teroris!Film yang memasang Eric Bana sebagai bintang utama ini disutradarai oleh Steven Spielberg. Terorisme. Tema tersebut yang diusung dalam film ini. Pasca tragedi menara kembar 9 September 2001, masyarakat dunia dihantui dengan berbagai aksi terorisme. Kebencian menggebu-gebu dipastikan hinggap di hati orang yang melihat kekejian aksi penebar teror. Namun di film ini, penonton dibawa ke dalam wilayah abu-abu. Iya, Avner adalah seorang pembunuh. Ia dengan tega mengebom rumah seorang pria dengan satu putri, juga tanpa ampun menghabisi wanita berparas cantik yang diduga membahayakan keutuhan anggota kelompoknya. Meski demikian, penonton akan susah membenci sosok Avner. Kelembutan hati Avner menjadi penyebab. Di tengah-tengah pemburuannya terhadap teroris Palestina, Avner menyempatkan diri pulang ke Israel. Ia ingin menemani istrinya menjalani proses persalinan. Avner bahkan sempat menghadiahi istrinya kalimat romantis. "Hanya kamu lah rumahku. Tempat satu-satunya ke mana aku akan pulang." Adegan mengharukan yang menambah rasa simpati kepada Avner adalah ketika ia mendengar anaknya mengucap kata "ayah" melalui telepon. Avner hanya bisa terduduk lemas, lalu menangis. Label kegarangannya sebagai teroris lepas seketika. Lalu, apakah penonton diajak untuk membenci teroris asal Palestina? Tidak juga. Di tengah-tengah film, Steven Spielberg menyelipkan percakapan antara Avner dengan Ali, pemuda Arab yang mati-matian menentang Israel. Di situ, dua pria berbeda ideologi berdiskusi. Bukan untuk mencari siapa yang benar siapa yang salah, tapi untuk berbagi pemikiran dan perasaan hati. (ine/)

Hide Ads