Aftermath dibuka dengan suara teriakan perempuan, suara tembakan, kemudian ketika kita melihat opening credits, sutradara Peter Winther mempersembahkan gambar mayat perempuan dan kepala mayat laki-laki yang rusak karena bunuh diri. Sebuah opening yang meyakinkan kalau Anda suka dengan cerita-cerita misteri seperti ini. Apalagi ditambahi dengan tulisan bahwa film ini terinspirasi dari kisah nyata. Kengeriannya jadi berlipat ganda.
Setelah itu kita bertemu dengan Kevin (Shawn Ashmore) yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih TKP. Dia bersama teman-temannya membersihkan rumah tersebut lengkap dengan bercak darah yang ada di mana-mana. Di sisi lain, rumah tangga Kevin sendiri jauh dari indah malah sudah diambang kehancuran. Tapi dia bersama istrnya, Natalie (Ashley Greene), mencoba untuk bersama lagi. Apa yang mereka lakukan berikutnya? Benar sekali. Membeli rumah itu.
Tentu saja hal-hal aneh mulai terjadi ketika mereka tinggal di situ. Ada pesan cinta tiba-tiba muncul di cermin. Musik yang bunyi sendiri. Mainan anjing yang tiba-tiba muncul di atas meja. Lama kelamaan teror ini menjadi semakin ekstrem. Mobil yang dibakar. Anjing yang sakit-sakitan karena ternyata dia diracun oleh sesuatu atau seseorang yang misterius. Siapa yang meneror mereka? Apakah rumah tersebut berhantu? Atau ada sesuatu yang lebih menyeramkan?
Ditulis oleh Peter Winther dan Dakota Gorman, Aftermath lumayan berhasil memberikan teka-teki dan kengerian yang untuk ukuran film sederhana. Sepertinya mereka tahu bahwa produksi film ini sangat murah (total lokasi tidak sampai dari sepuluh) sehingga mereka berpegang teguh pada twist dan kejutan untuk menjaga rasa penasaran penonton. Dan seringnya usaha tersebut berhasil. Aftermath memberikan twist demi twist sampai film berakhir. Banyak sekali kejutan bertebaran. Kalau Anda sering menonton thriller semacam Aftermath mungkin Anda bisa menebak ending atau kejutannya. Tapi bisa jadi juga tebakan kalian semua akan keliru.
Meskipun skripnya lumayan aktif, Aftermath terasa kurang maksimal karena penyutradaraannya. Secara teknis, Aftermath memang sangat lemah karena film ini terlihat sangat low budget. Kameranya malas-malasan. Padahal film thriller seperti ini bergantung pada atmosfer yang diciptakan oleh visual. Secara look, filmnya juga kelihatan seperti film kelas B. Secara audio, Aftermath juga terasa sekali banyak adegan yang direkam ulang. Hasilnya memberikan nuansa yang tidak organik.
Entah disengaja atau tidak, Winther membuat penampilan Ashmore (yang kita kenal dari film X-Men) dan Greene (yang kita kenal dari serial Twilight) terasa kaku dan hiperbola. Tapi akting hiperbola ini tidak terbatas kepada mereka berdua. Hampir semua jajaran pemain Aftermath bermain dua level di atas natural. Hasilnya jadi agak menggelikan.
Tapi mengingat plot Aftermath yang memang berlebihan, akting hiperbola semua pemain film ini membuat keseluruhan Aftermath menjadi cukup menghibur. Kalau Anda tidak berhasil menjadi tegang karena plot-nya, setidaknya banyak yang bisa Anda tertawakan saat menyaksikan film ini. Dengan durasi dua jam, Aftermath bisa dijadikan alternatif menarik untuk mengisi malam Anda. Siapkan cemilan dan teman menonton, film ini bisa jadi tontonan asyik untuk mencairkan suasana.
Aftermath dapat disaksikan di Netflix.
--
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(aay/aay)