Seperti kebanyakan sci:fi pada umumnya, di tahun 2063 Bumi sudah hampir tidak bisa ditempati. Overpopulasi, resource berkurang banyak dan iklim yang sudah tidak bisa dibenahi membuat Amerika berusaha untuk mencari tempat lain untuk hidup. Untuk meneruskan species manusia agar tidak punah.
Dan setelah lama mencari, akhirnya mereka menemukan planet lain yang mempunyai oksigen, air dan tanah yang bisa ditempati.
Bagian susahnya adalah untuk mencapai planet tersebut dibutuhkan perjalanan selama 86 tahun. Bagaimana caranya untuk tetap mempertahankan species jika manusianya sudah mati dalam perjalanan? Manusia punya caranya. Mereka melahirkan manusia-manusia yang memang didesain untuk bertahan hidup. Mereka lahir dari orang tua yang cerdas kemudian tumbuh dalam ruangan sehingga mereka terbiasa untuk tidak kangen dengan dunia luar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dipimpin oleh Richard (Colin Farrell), para anak-anak yang ditakdirkan untuk meneruskan garis manusia ini berangkat ke pulau baru tersebut. Empat tahun di dalam pesawat, anak-anak ini berubah menjadi remaja. Dan seperti remaja pada umumnya, mereka mulai gatal untuk melakukan pembangkangan.
Yang pertama dilakukan Christopher (Tye Sheridan) dan Zac (Fionn Whitehead) adalah menolak minum minuman berwarna biru yang harus mereka minum setiap harinya. Minuman biru tersebut ternyata berguna untuk menekan semua impulse yang biasa dipunyai remaja seperti agresi, gairah dan lain sebagainya. Tidak butuh waktu lama bagi Christopher dan Zac untuk merasakan hidup dan gairah dalam hidup mereka setelah mereka berhenti meminum minuman biru tersebut.
Apa yang terjadi ketika jiwa-jiwa mereka yang terbakar sudah tidak ingin mengikuti peraturan yang ada? Bagaimana dengan nasib misi mereka jika yang ingin mereka lakukan hanya bersenang-senang?
Ditulis dan disutradarai oleh Neil Burger (yang memberikan kita Divergent dan Limitless), Voyagers memiliki visual yang sangat menarik. Estetiknya yang sengaja dibuat membosankan dengan warna polos membuat rasa klaustrophobia terasa. Membuat Anda sebagai penonton benar-benar merasakan pengap di pesawat ini. Dilengkapi dengan lorong-lorong yang sempit dan ditambah dengan kamera dari Enrique Chediak yang bergerak begitu liar, Voyagers cukup berhasil membuat untuk membuat gelisah.
![]() |
Tapi sayangnya kisah yang familiar ini tidak berhasil untuk memberikan sensasi yang lebih dari itu. Secara plot Voyagers memang tidak spesial. Kalau Anda membaca Lord of the Flies, menonton Hunger Games, Battle Royale atau Alice In Wonderland, kisah para remaja yang saling menyerang untuk berkuasa bukanlah sesuatu yang baru. Yang membuat Voyagers kalah mentereng dibandingkan judul-judul tadi adalah kemalasannya untuk menambahkan sesuatu yang berbeda.
Karakter-karakter di dalamnya tidak ada yang menarik untuk disimak. Richard sebagai satu-satunya karakter orang dewasa di film ini asyik ditonton karena kita mengerti apa yang dia rasakan. Dia satu-satunya orang dewasa yang berusaha menjaga ketertiban di pesawat yang penuh remaja horny dan membangkang. Karakter-karakter remajanya? Mereka bergerak seperti robot. Christopher ngotot menjadi orang baik. Sela (Lily-Rose Depp) terlalu vanilla untuk mempunyai edge.
Zac sebenarnya sangat berpotensi untuk menjadi villain yang seru tapi sayangnya motivasinya terlalu cetek. Tidak ada kompleksitas yang membuat karakternya tiga dimensional.
Dengan minimnya kejutan dan plot yang sangat straight-forward, Voyagers akhirnya berakhir menjadi sebuah tontonan yang biasa-biasa saja. Film ini sebenarnya memiliki momen-momen apik di dalamnya ketika Burger bermain-main dengan ekspektasi penonton.
![]() |
Tapi semuanya menjadi melempem ketika ternyata Burger jauh lebih tertarik untuk membawa Voyagers ke ranah aman. Film ini tidak jelek, hanya sangat bisa ditebak.
Voyagers dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(doc/doc)