The Devil All The Time: Iblis Dalam Jiwa Manusia

The Devil All The Time: Iblis Dalam Jiwa Manusia

Chandra Aditya - detikHot
Kamis, 24 Sep 2020 21:33 WIB
The Devil All the Time
The Devil All the Time. Dok. Netflix
Jakarta -

The Devil All The Time benar-benar menyajikan kisah muram yang dialami oleh Arvin (Tom Holland). Bahkan sebelum Arvin, hidupnya seolah ditakdirkan akan berakhir muram. Ayahnya, Willard Russell (Bill Skarsgard, si badut menyeramkan dalam It) membuka The Devil All The Time dengan menemukan tentara yang disalib hidup-hidup.

Dia kemudian bertemu dengan Charlotte (Haley Bennett), seorang pelayan yang menemukan satu alasan untuk berbuat baik setiap harinya. Mereka bertemu dan akhirnya menikah. Keindahan berhenti disini.

The Devil All The Time yang diadaptasi dari novel Donald Ray Pollock (diadaptasi oleh Antonio Campos dan Paulo Campos) adalah sebuah mosaic tentang orang-orang yang tidak beruntung yang tinggal di sebuah tempat yang juga tidak menyenangkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sepanjang 138 menit (ya, durasinya memang sama sekali tidak bersahabat) penonton akan diajak untuk melihat derita-derita manusia yang menanggung beban hidup. Mungkin itu sebabnya Tom Holland merengut sepanjang film. Jika Anda mengharapkan dia tampil cerah ceria seperti Peter Parker, Anda berada di sebuah film yang salah.

The Devil All the TimeThe Devil All the Time Foto: Dok. Netflix

Ketika Arvin dewasa dia mempunyai "saudari tiri" bernama Lenora (Eliza Scanlen, dicomot dari mini seri Sharp Objects dan terakhir meramaikan Little Women versi Greta Gerwig) yang harus dia lindungi. Meskipun Lenora berlutut dan tidak berhenti untuk berdoa agar ia mendapatkan lindungan-Nya, para bully dan remaja-remaja jahat tidak berhenti untuk menggodanya. Atau bahkan melecehkannya.

ADVERTISEMENT

Arvin yang jelas mendapatkan tempramen yang buruk dari ayahnya tidak bisa diam menyaksikan ini. Penonton pun akhirnya diajak untuk menikmati sederetan aksi kriminal yang akan mungkin membuat Anda istighfar sepanjang film.

Itu hanya sedikit dari kegelapan yang hadir dalam The Devil All The Time. Dengan barisan cast yang super duper terkenal (Robert Pattinson, Riley Keough, Jason Clark, Sebastian Stan sampai Mia Wasikowska), The Devil All The Time hadir untuk membuat Anda semakin mengkeret setiap menitnya ditempat Anda menonton film ini. Berbagai karakter saling berhubungan tapi hampir semuanya berakhir dengan buruk.

Poin plusnya dari aktor-aktor terkenal bertebaran di film ini adalah Anda akan mendapatkan akting yang menarik dari pemain-pemainnya. Riley Keough dan Jason Clark yang berpasangan menjadi pasangan dari neraka yang hobinya adalah menarik lelaki perjaka untuk beradegan intim dengan karakter Keough yang kemudian difoto sebelum mereka dibunuh memberikan feel yang amat sangat tidak menyenangkan.

Mereka sangat meyakinkan sebagai couple yang sangat rusak sehingga ketika mereka muncul, dosis kengerian film ini menjadi bertambah. Mia Wasikowska yang akhir-akhir jarang muncul juga memberikan permainan yang mengesankan sebagai Helen Laferty (ibu karakter Eliza Scanlen). Meskipun dia hanya tampil beberapa menit, tapi ia bisa memberikan kejutan.

Tapi yang paling mempesona mungkin adalah Robert Pattinson. Dalam sebuah film yang orang-orang tampan dan cantik sengaja dibuat jelek (serius, semua orang terlihat begitu buruk rupa di film ini), Pattinson memberikan ekstra keanehan untuk membuat The Devil All The Time menjadi terasa benar-benar asing. Berperan sebagai seorang pendeta, Pattinson terlihat dan terdengar sangat buruk. Menurut kabar yang beredar, Pattinson menolak untuk belajar dialek Selatan oleh sugesti sutradara Campos.

The Devil All the TimeThe Devil All the Time. Foto: Dok. Netflix

Pattinson ngotot untuk belajar sendiri dan hanya memberi tahu aksen yang akan dia lakukan sebelum take pertamanya. Sebuah keberanian yang patut dipuji karena meskipun dia terdengar aneh, keanehan yang ditunjukkan Pattinson dalam film ini membuat The Devil All The Time memiliki tenaga listrik yang diperlukan untuk menjaga penonton tetap melek.

Sayangnya barisan pemain yang menarik tidak lantas membuat The Devil All The Time menjadi tontonan yang benar-benar menarik untuk ditonton dari awal sampai akhir. Adegan-adegan yang dijahit menjadi satu film tidak memberikan saya alasan untuk peduli kepada nasib buruk karakter-karakternya.

Tragedi datang dan pergi tapi tidak ada alasan untuk saya terkejut. The Devil All The Time mempunyai begitu banyak karakter yang harus diceritakan detil hidupnya sehingga dia pada akhirnya menjadi sebuah kanvas yang tidak koheren. Rasanya seperti "ini orang ini, kemudian ada dia, dan dia lalu dia" begitu seterusnya sampai end credits.

The Devil All the TimeThe Devil All the Time. Foto: Dok. Netflix

Editor film ini (Sofia Subercaseaux) mempunyai magis untuk berusaha membentuk film ini menjadi kesatuan yang satu tapi hasil karya duo penulisnya tidak berhasil untuk membuat The Devil All The Time terasa solid. Maju mundur cantik yang diakibatkan karakternya tersebar dimana-mana tidak memberikan emosi yang membuat saya bersedih misalnya ketika karakternya mendadak dibunuh.

Kalau saja film ini dibuat episodic dimana penonton diberi waktu untuk mengenal nasib karakter-karakternya lebih lama, mungkin The Devil All The Time akan lebih enak untuk disantap. Untuk sekarang rasanya film ini terasa hanya seperti sebuah sajian mimpi buruk yang hambar.

The Devil All The Time dapat disaksikan di Netflix.

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.




(ass/ass)

Hide Ads