'The Platform': Potret Kelam Society

Hot Review

'The Platform': Potret Kelam Society

Candra Aditya - detikHot
Selasa, 31 Mar 2020 14:11 WIB
The Platform
Foto: The Platform
Jakarta -

Kita semua tahu bahwa kita tidak lagi butuh tontonan yang mengingatkan terhadap realita yang sama-sama sedang kita hadapi sekarang. Dunia seperti sedang terbalik dan tontonan yang menghibur, yang bisa membawa kita lari dari realita adalah jenis tontonan yang banyak dicari oleh kebanyakan orang.

Tapi ada sesuatu yang melegakan jika Anda berani mencoba untuk menghadapi horor yang ada. Ada sesuatu yang sensasional, yang murni keluar dari diri kita ketika kita berhasil melawan rasa takut itu. Dan 'The Platform' menawarkan itu.

Tayang spesial di Netflix, 'The Platform' menceritakan tentang seorang pria bernama Goreng (Ivan Massague) yang terbangun di sebuah ruangan kotak bersama orang lain bernama Trimagasi (Zorion Eguileor). Goreng, seperti kita semua, terisolasi dari dunia luar. Goreng, seperti kita semua, juga kebingungan. Trimagasi kemudian menjelaskan semuanya.

'The Platform': Potret Kelam SocietyFoto: The Platform



Peraturannya adalah sederhana, mereka harus bertahan di tempat tersebut dengan semua kondisi yang ada. Makanan akan turun dari atas ke bawah. Makanan yang ada adalah makanan sisa dari apapun yang tersedia dari atas. Level 1 akan mendapatkan makanan yang masih utuh belum tersentuh. Dan level-level berikutnya akan mendapatkan makanan sisaan dari level atasnya. Itulah sebabnya Goreng menatap Trimagasi dengan ngeri ketika Trimagasi makan dengan lahap makanan sisa tersebut.

Berbeda dengan Goreng yang baru saja ada di gedung tersebut, Trimagasi sudah setahun ada di ruangan tersebut. Jika Goreng menawarkan diri secara sukarela masuk ke gedung beton tersebut demi diploma, maka Trimagasi berada di tempat tersebut karena dia tidak sengaja membunuh orang. Setiap orang diberi kesempatan untuk membawa satu benda dari dunia luar. Goreng memilih buku Don Quixote, Trimagasi memilih pisau yang tajam.

Satu bulan telah terlewati dan mereka survive. Goreng beruntung karena bulan pertamanya dia berada di lantai 48. Ketika dia terbangun di bulan kedua, dia dan Trimagasi berada di level 171. Kalau makanan yang sampai di lantai 48 sebegitu hancurnya, apa yang terjadi dengan makanan di lantai ini? Apakah dosa jika memakan daging manusia demi bertahan hidup? Bagaimana caranya bisa bertahan di situasi seperti ini?



'The Platform' sama sekali tidak berniat untuk menjadi sebuah film yang halus. Ia tidak ingin menjadi metafora. Ia langsung blak-blakan menjadi potret. 'The Platform' seperti 'Snowpiercer' bertemu dengan 'Cube'. Penulis skrip David Desola dan Pedro Rivero sama sekali tidak basa-basi dalam menunjukkan statement-statement mereka. Bagian tersusah dari film ini mungkin adalah menjelaskan konsep dari ide mereka tanpa kelihatan seperti menjelaskan. Dan untuk itu mereka berhasil.

Desola dan Rivero pun berhasil menggambarkan dengan gamblang apa yang terjadi dengan segala macam konsekuensi yang ada terhadap thesis yang sedang mereka tawarkan. Tentu saja penonton akan bisa langsung tahu bahwa manusia akan selalu serakah dan harmoni hanyalah sebuah imajinasi. Tapi tetap saja rasanya sungguh memilukan melihat semua hal-hal buruk tentang manusia digambarkan dengan begitu gamblang dalam film ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

'The Platform': Potret Kelam SocietyFoto: The Platform



Karena pembuat 'The Platform' begitu fokus terhadap statement mereka, kekurangannya adalah karakterisasi karakter-karakter yang kurang begitu menggigit. Goreng sebagai karakter utama hanyalah sebuah kanvas kosong bagi penonton. Tugas dia adalah untuk mengantarkan penonton ke situasi yang pembuat film ini sedang gambarkan. Selain dia, karakter-karakter yang ada hanyalah vignettes dari orang-orang yang mungkin pernah Anda temui dalam kehidupan nyata.

Meskipun begitu sutradara Galder Gaztelu-Urrutia membuat The Platform dengan cukup mahir. Dengan durasi 94 menit, 'The Platform' lebih dari berhasil untuk menyampaikan pesannya. Secara sinematografi, sinematografer Jon D. Dominguez berhasil membuat lokasi-lokasi ini terasa sangat mimpi buruk. Suasananya sangat klaustrofobik.



Musik dari Aranzazu Calleja sungguh menghantui dan editing dari Haritz Zubillaga dan Elena Ruiz cukup mantap dalam mengantarkan mimpi buruk demi mimpi buruk.

Menonton film tentang orang terpenjara dan bagaimana orang-orang ini terpecah belah gara-gara sebuah sistem mungkin bukan sebuah pilihan ketika kita semua merasakan hal yang serupa. Tapi kalau Anda mau mencicipinya, 'The Platform' akan membuat Anda lebih bersyukur tentang apa yang kita semua punya rasakan. Dan terus bersyukur adalah salah satu hal yang perlu kita terus lakukan sekarang ini.

'The Platform' dapat disaksikan di Netflix

ADVERTISEMENT

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.




(doc/doc)

Hide Ads