'Black Christmas': Horor yang Kurang Meriah

'Black Christmas': Horor yang Kurang Meriah

Candra Aditya - detikHot
Senin, 16 Des 2019 17:30 WIB
Black Christmas. Foto: Dok. Ist
Jakarta -

Dari awal film, Black Christmas versi 2019 yang disutradarai oleh Sophia Takal dan ditulis oleh Sophia Takal dan April Wolfe, meneriakkan seruan keras kepada penonton bahwa ini adalah film tentang empowerement. Ini adalah film tentang perjuangan perempuan.

Ini adalah film tentang perempuan-perempuan tertindas dan bagaimana mereka akhirnya melawan. Belum 10 menit film berjalan dan kita sudah melihat seorang karakter perempuan mencari DivaCup (sebuah menstrual cup) miliknya yang hilang.

Plotnya sendiri tak jauh berbeda dengan Black Christmas versi 1974 atau bahkan versi 2006 yang cukup gampang dilupakan itu. Hanya saja disini Takal lebih bersabar untuk menahan teror yang ada. Ia merasa perlu menjelaskan begitu banyak backstory dan konteks sebelum penonton akhirnya diajak untuk bersenang-senang di akhir film.

Di sebuah universitas bernama Hawthorne College kita bertemu dengan Riley Stone (Imogen Poots, berakting sekuat tenaga untuk terlihat meyakinkan dan usahanya lumayan berhasil), seorang mahasiswi baik-baik yang secara sekilas terlihat pemalu.

Berbeda dengan sahabatnya Kris (Aleyse Shannon) yang liar dan kerap meneriakkan kampanye-kampanye sosial di depan muka, Riley Stone adalah jenis gadis yang bersembunyi di balik layar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia ingin menjaga dirinya tetap low profile. Ini mungkin karena Riley pernah diperkosa oleh salah satu mahasiswa di kampus dan tak ada satu pun yang percaya dengan testimoninya, kecuali teman-teman sororitinya.

Black Christmas.Black Christmas. Foto: Dok. Ist

Saat Helena (Madeleine Adams) sakit, Riley dipaksa untuk perform. Kris, Riley dan teman-temannya yang lain berencana untuk perform acara Natal di basecamp fraternity kampus. Riley sempat gugup tapi waktu itu ia ingin menunjukkan bahwa ia kuat. Lagu yang mereka bawakan lumayan kontroversial.

Karena mereka menyatakan dengan keras bahwa hubungan yang tidak ada consent alias ijin itu termasuk pemerkosaan. Dalam waktu singkat penampilan mereka menjadi viral.

Keesokan harinya Riley menyadari ada yang aneh. Teman-temannya mulai menghilang. Dan dia mendapatkan pesan misterius dari Hawthorne, pendiri kampus mereka. Isinya lumayan menyeramkan dan penuh ancaman.

Malam itu Riley dan teman-temannya menyaksikan sendiri sekelompok orang menyerang mereka. Kini mereka tahu bahwa ini semua bukan karena penampilan mereka semalam. Ada sesuatu yang lebih menyeramkan melayang-layang di udara. Dan kini mereka harus bertahan hidup.

Black Christmas.Black Christmas. Foto: Dok. Ist

Beberapa saat lalu, Jason Blum, si pendiri Blumhouse Production, sempat mendapatkan sorotan ketika ditanya kenapa film-film yang ia produksi tidak ada yang dibuat oleh perempuan. Jason Blum menjawab bahwa tidak banyak perempuan yang mau menyutradarai genre film. Dan sekali lagi jawaban Jason Blum tersebut mendapatkan backlash.

Hadirnya Takal dalam Black Christmas ini rupanya menjadi salah satu upaya Blum untuk menunjukkan bahwa ia bisa menjadi laki-laki yang maju, tidak seperti karakter-karakter laki-laki dalam film ini.

Dan pilihan Blum untuk memilih Takal sebagai sutradara film ini cukup jenius. Karena Always Shine, film yang juga dibuat Takal, adalah salah satu psychological thriller yang sangat apik.

Takal menunjukkan kemampuannya yang meyakinkan disana. Dan dalam Black Christmas ini Takal menunjukkan tangan dinginnya dalam meramu ketegangan.

Sayangnya tensi tersebut tidak terjaga dengan baik karena setelah Black Christmas membuka semua kartunya dan menata permainannya, film ini justru menjadi tidak menarik.

Positioning Takal dan film ini yang sangat feminis, yang sangat cocok dengan iklim paska #MeToo ini sebenarnya sangat menarik. Asyik sekali menyaksikan para perempuan untuk berkumpul bersama dan mencoba menghancurkan patriarki dan toxic masculinity. Sayangnya Takal dan juga Wolfe sebagai penulis skrip lupa bahwa mereka sedang membuat film horor.

Yang tujuan utamanya adalah menakut- nakuti penonton. Membuat penonton kaget dengan jumpscare sekali dua kali memang sah. Tapi melakukannya sepanjang film adalah tindakan kriminal.


Disayangkan keputusan pembuat film ini membuat Black Christmas dengan
rating remaja. Salah satu keasyikan menonton slasher atau thriller semacam ini adalah menyaksikan betapa brutal dan keji pembunuhan yang sedang terjadi. Sehingga ketika sang tokoh utama selamat dari maut, kita bisa merasakan kegemilangan kemenangannya.

Hal tersebut tidak terjadi di versi 2019 Black Christmas ini. Hampir semua pembunuhan terjadi secara off screen. Apapun yang terasa gory atau intense tidak tampak dengan jelas. Keputusan ini jelas mempengaruhi mood secara keseluruhan.

Kalau saja Black Christmas mempunyai semangat untuk menjadi horor yang liar seperti semangat dia untuk menunjukkan bahwa perempuan bisa melawan, film ini lebih dari berpotensi untuk menjadi horor keluaran Blumhouse yang paling asyik saat ini. Sayangnya hasil akhirnya tidak lebih dari sekedar cheap thrills.




(ass/ass)

Hide Ads