Sultan Agung, Kebenaran Sejarah Vs 'Kebenaran Film'

Review Film

Sultan Agung, Kebenaran Sejarah Vs 'Kebenaran Film'

Iqbal Aji Daryono - detikHot
Jumat, 31 Agu 2018 18:38 WIB
Foto: dok Film Sultan Agung
Jakarta - Jujur saja, saya datang ke bioskop untuk menonton film ini sambil menenteng kecurigaan awal. Sudah tertanam di benak saya satu prasangka kuat dan segepok kekecewaan terkait kualitas riset sejarah Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta, film terbaru Hanung Bramantyo.

Prasangka itu muncul karena beberapa hari sebelumnya beredar sebuah 'kritik' yang viral di media sosial. Di situ disebutkan kecerobohan Hanung karena menghadirkan pasukan Mataram dalam performa semi-primitif, semata mengandalkan senjata-senjata tradisional untuk menyerang benteng VOC di Batavia.

Sementara itu, dalam berbagai literatur sejarah, jelas disebutkan bahwa Mataram menyerang dengan senjata-senjata api pula, mulai senjata genggam hingga meriam. Teknologi senjata api sudah diakses oleh kerajaan-kerajaan Nusantara pada masa itu.

Maka, saya pun menanti-nanti adegan penyerangan Mataram. Dan, aduh..., ternyata apa yang sangka-sangka dan saya baca dari unggahan viral itu tak lebih dari penilaian gegabah yang cuma berbekal tayangan trailler!

Ya, senjata api dan meriam-meriam besar ditampilkan sebagai alutsista wajib wadyabala Mataram dalam film Sultan Agung. Dari situlah saya memutuskan bertahan mengikuti film berdurasi 2,5 jam ini hingga tuntas, baru kemudian mengoceh tentangnya.

***

Cerita dimulai dengan kisah Mas Rangsang (Marthino Lio) yang belajar di Padepokan Jejeran, berguru kepada Kiai Jejer (Deddy Sutomo). Di situ ia berjumpa dengan cinta masa remajanya, Lembayung (Putri Marino).

Cinta sejatinya itu terpaksa ia tinggalkan karena mendadak ayahanda Mas Rangsang, yakni Panembahan Hanyokrowati, wafat.

Mas Rangsang pun dihadapkan pada situasi tak bisa menolak ketika Ki Juru Mertani (Landung Simatupang) menunjukkan realitas pahit yang dihadapi Mataram apabila kekuasaan Mataram dilanjutkan ke tangan Pangeran Martopuro.

Pangeran Martopuro memiliki keterbatasan mental, sehingga masa depan Mataram jelas bakal mengkhawatirkan jika takhta diduduki oleh sosok yang paling 'legal', bukan yang 'paling baik'.

Maka, Mas Rangsang pun naik takhta, dengan nama Susuhunan Hanyokrokusumo (gelar sultan baru didapatkan pada masa-masa akhir kekuasaannya). Pemegang kekuasaan baru itu langsung dihadapkan pada tantangan, yakni munculnya orang-orang Kompeni VOC yang semakin merajalela. Dari situlah Susuhunan Hanyokrokusumo (Ario Bayu) memutuskan menyerang Batavia dengan mengerahkan segenap bala tentara Mataram berikut rakyat jelata yang terkena wajib militer.

Dari pelajaran sejarah di sekolah saja kita tahu bahwa dua gelombang penyerbuan pada bulan Agustus dan Oktober 1628 itu menemui kegagalan. Selama berbulan-bulan proses itu pula, digambarkan terjadi perdebatan, keragu-raguan, juga pengkhianatan, yang cukup mempengaruhi keyakinan Susuhunan akan makna aksi penyerangan atas Batavia.

Tumenggung Notoprojo (Lukman Sardi) muncul sebagai sosok sentral dari penyebar keragu-raguan itu. Ia tokoh yang mempertanyakan misi Susuhunan atas penyerbuan: demi ego atau demi rakyat Mataram? Jika demi rakyat, hasilnya justru penderitaan dan bencana kematian.

Namun, di sela-sela kegalauannya, Susuhunan tetap teguh. Ia berkukuh bahwa gerakan tetap harus dilanjutkan, karena aksi itu bukanlah demi tujuan jangka pendek saja, melainkan demi kebanggaan anak-cucu hingga ratusan tahun mendatang.

Tindakan itu adalah pembelaan martabat, penegasan harga diri, dan bukti bahwa kita adalah bangsa yang berani dan tak sudi diinjak-injak di bawah kaki Kompeni.

***

Dari keseluruhan cerita, entah kenapa bagian yang paling membekas di kepala saya setelah keluar dari gedung bioskop bukanlah adegan-adegan penyerbuan ke Benteng Hollandia, melainkan wajah Lembayung muda. Buat saya, kisah percintaan berikut kisah patah hati antara Mas Rangsang dan Lembayung adalah bagian tercantik dari keseluruhan film itu. Apakah ini terjadi semata karena saya ini spesies lelaki cengeng, atau karena Hanung memang paling ahli dalam membuat adegan-adegan percintaan?

Saya rasa, jawaban kedualah yang benar. Lembayung memang sosok fiktif, ia tak ada dalam catatan sejarah. Jika yang diacu adalah tokoh historis salah satu istri Sultan Agung dari Jejeran, ia tentulah gadis yang belakangan bergelar Ratu Kilen, putri Kiai Jejer alias guru Mas Rangsang sendiri. Namun ini bukan. Lembayung adalah anak lurah setempat, sosok yang terlalu jauh kastanya di bawah keluarga kedaton, sehingga penobatan Mas Rangsang sebagai Susuhunan Hanyokrokusumo berarti tamatnya kisah cinta Mas Rangsang dan Lembayung.

Harus saya akui, meski Lembayung sosok fiktif, kisah cinta dan kisah patah hati kedua anak muda itu menyelamatkan banyak hal dari film ini. Ia tidak tampak sebagai kisah menye-menye yang terlalu dibuat-buat, penuh kejutan tak bermutu, lalu berakhir dengan "mereka bahagia selamanya". Saya kasih nilai delapan untuk Hanung pada bagian ini.

Pada fase setelah pergantian takhta, permainan watak Ario Bayu cukup memukau. Dengan karakter wajah dan posturnya, anak muda satu itu betul-betul sempurna memerankan sosok raja yang paling perkasa dalam sejarah Mataram. Kehadirannya nyaris persis dengan imajinasi saya sejak kecil ketika dihadapkan pada beberapa serpih gambar Sultan Agung di buku terbitan Balai Pustaka. Karakter suaranya yang kokoh, tusukan dari sorot matanya, dan gestur tubuhnya membuat saya bersyukur bahwa akhirnya Hanung tidak mengambil jurus 'Reza Rahardian lagi Reza Rahardian lagi'.

Sayang, bagian menarik, yakni perang batin Susuhunan yang ragu antara melanjutkan penyerbuan atau menghentikannya demi keselamatan rakyat Mataram, kurang kuat digambarkan. Itu aneh, dan menjadikan sosok si Raja Mataram kehilangan sisi manusiawinya, yang sebelumnya sudah ditampilkan dengan sempurna pada fase sebelum naik takhta. Karakter sebagai raja memang mantap, namun karakter sebagai manusia terasa minimalis.

Kekurangan pada bagian itu kemudian berhasil ditebus oleh sosok yang sama, namun bukan dalam sisi manusiawi, melainkan sisi 'ideologis'. Keteguhan sikap Susuhunan dalam menatap visi martabat bangsa hingga ratusan tahun ke depan, ketidaksudian dia berlutut di hadapan VOC, juga ketika ia berseru lantang "Mukti utowo mati! Menang dan berjaya, atau gugur!" memberi makna pada film ini.

Saya tahu, ini murni kreasi sutradara dan penulis skenario. Kalimat-kalimat dan visi heroik semacam itu tidak ada dalam catatan sejarah. Menurut versi sejarawan De Graaf, misalnya, dipaparkan bahwa motivasi utama Sultan Agung menyerang Batavia adalah membuka jalan karena VOC menolak waktu diajak bekerja sama menyerang Banten.

Kita harus paham bahwa konsep dan kesadaran nasionalisme belum ada pada zaman itu, dan jangan sekali-kali berpikir bahwa Sultan Agung membela NKRI, ha-ha-ha...! Indonesia belum ada, ide tentang itu pun belum ada, dan yang ada adalah perebutan dominasi dan kekuasaan.

Ah, sudahlah, kita memang butuh mitos-mitos untuk membangun kebermaknaan hidup, mitos-mitos yang secara aksiologis sangat berfaedah sebagaimana historiografi Indonesia ala Muhammad Yamin yang kita teguk sejak sekolah dasar. Keteguhan dan jiwa patriot Susuhunan Hanyokrokusumo demi harga diri bangsa yang digambarkan di film ini tetap penting, dan menjadi salah satu poin utama yang membuat kita meninggalkan bioskop tanpa perasaan sia-sia.

Ingat, HUT RI ke-73 baru saja berlalu, bau-bau semangat lomba makan kerupuk masih tersisa. Di saat yang sama, Asian Games juga tengah dihelat, dan tiba-tiba jutaan manusia memekik, "Siapa kitaaaa?? Indonesiaaa!!!"

Nasionalisme memang kadangkala manis, dan yang manis-manis perlu dipermanis dengan taburan mitos secukupnya, bukan? Itulah kenapa sebuah film sejarah harus dilihat sebagai film berlatar sejarah, atau film yang terinspirasi sejarah. Ia bukan buku sejarah, dan sangat tidak bisa diposisikan sebagai acuan referensi sejarah.

Karena itu jugalah, perspektif sejarah kritis yang akan sedikit merusak imaji kebangsaan tidak perlu digelar terlalu telanjang. Harap diketahui, dalam catatan Belanda, Susuhunan Hanyokrokusumo murka mendengar kekalahan tentara Mataram. Ia pun mengambil langkah sesuai aturan yang berlaku kala itu: hukuman mati bagi pecundang.

Pada Desember 1628, algojo dikirimkan dari Mataram untuk memenggal kepala Tumenggung Bahurekso dan Pangeran Mandurorejo, para pemimpin dua gelombang serangan ke Batavia. VOC mencatat penemuan lebih dari 700 mayat orang Jawa yang sebagian tanpa kepala.

Tapi apa yang bisa didapatkan penonton dengan cerita semacam itu? Catatan sejarah De Graaf toh kadang terasa bias orientalis, dan tak jarang menampilkan Jawa sebagai bangsa yang terkesan barbar. Jauh lebih baik langkah Hanung yang menampilkan pemenggalan kepala dengan sasaran para tertuduh pengkhianat (dan karena itulah film ini kurang cocok ditonton anak-anak).

Jauh lebih oke juga, ketika di akhir cerita, Susuhunan ditampilkan memberikan ampunan kepada sisa-sisa tentara yang selamat, sambil berkata, "Pulanglah kalian, kembalilah kepada keluarga kalian."

Ah, kalimat itu jelas tidak historis. Namun ia lebih memenuhi kebutuhan batin manusia masa kini yang ingin melihat sosok raja Jawa di abad ke-17 sebagai seorang... ehm, family man yang sangat peduli HAM dan hak-hak masyarakat sipil.

***

Setelah segenap persetujuan saya atas Sultan Agung, kritik harus saya lontarkan juga, minimal agar saya tidak dituduh sebagai buzzer Hanung, ha-ha-ha....

Kritik ini disentilkan oleh beberapa rekan yang paham artistik. Poin yang paling saya sepakati adalah soal tata visual di pendopo paseban Mataram yang terlalu minimalis, dan lebih mirip panggung ketoprak. Ini lumayan mengecewakan.

Kita tahu bahwa Mataram adalah kerajaan terbesar, terkaya, dan termegah pada masanya. Orang-orang yang duduk di hadapan Susuhunan pun terkesan didudukkan di tempat yang seadanya, jauh dari imajinasi atas tata protokoler kesultanan termegah se-Jawa.

Pendek kata, dalam banyak adegan, kemegahan Kesultanan Mataram secara visual tidak cukup menancap di benak kita.

Dari saya sendiri, yang lumayan mengganggu adalah tembang Lir-ilir di penutupan. Tembang warisan Sunan Kalijaga dan memang cocok sebagai soundtrack film ini ditampilkan bukan dalam nada 'asli'-nya, melainkan malah dengan irama versi Gamelan Kiai Kanjeng.

Itu sedikit mengacaukan kesan saya atas keseluruhan film. Tiba-tiba, kisah pensiun Sultan Agung yang diisi pengabdiannya dalam medan kebudayaan justru terinterupsi oleh bayang-bayang wajah Emha Ainun Nadjib.

* Iqbal Aji Daryono, esais (ken/ken)


Hide Ads