Setup film ini sangat mudah: di sebuah masa depan yang tak lama lagi, anak-anak terkena semacam virus misterius. Mereka mendadak mempunyai kekuatan super. Kekuatan super yang misterius inilah yang membuat pemerintah kalang kabut. Mereka langsung menangkapi anak-anak kecil. Salah satunya adalah pahlawan kita, Ruby Daly (Amandla Stendberg).
Anak-anak ini pun dikumpulkan ke sebuah camp dimana mereka akan dianalisa dan dikategorikan sesuai dengan kekuatan super mereka. Dari yang paling jinak sampai yang paling mematikan. Hijau, biru dan emas adalah golongan anak-anak yang masih bisa dikontrol. Sementara itu warna orange dan warna merah adalah ancaman. Mereka harus dibunuh di tempat. Mengapa? Film ini tidak menjelaskan lebih banyak. Mungkin jawabannya akan ada di sekuelnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diadaptasi dari literatur remaja karya Alexandra Bracken, The Darkest Minds harusnya berpotensi untuk menjadi produk yang lebih dari sekedar tontonan medioker. Dengan isu imigrasi yang terjadi di Amerika beberapa saat lalu, The Darkest Minds mempunyai lebih banyak pintu untuk menjadi sebuah social commentary yang apik, seperti serial Hunger Games. Namun sayangnya film ini terlalu generik.
Kegenerikan The Darkest Minds tidak hanya terbatas pada skripnya saja (diadaptasi oleh Chad Hodge). Tapi juga penyutradaraan Jennifer Yuh Nelson. Dari sepintas saja Anda akan melihat bahwa film ini seperti serial Hunger Games, Divergent, X-Men dicampur jadi satu. Tambahkan bumbu roman sana-sini dan karakter antagonis yang kebutuhannya hanya ingin menguasai army, maka Anda akan mendapatkan plot The Darkest Minds.
Para pemain mudanya sebenarnya lebih dari niat untuk menambahkan sesuatu. Meskipun Stenberg dan Harris Dickinson tidak mempunyai chemistry yang baik untuk menjadi kekasih, tapi mereka meyakinkan ketika berbicara soal perjuangan mereka. Tapi tetap saja, film ini memang minim segalanya. Yuh Nelson tidak menambahkan emosi dalam film ini. Sehingga hasil akhirnya adalah sebuah film yang sangat hambar.
Semua itu kemudian ditambah dengan visual yang seadanya. Dibandingkan dengan saudara-saudaranya, The Darkest Minds mungkin adalah film dystopian sci:fi yang paling miskin visual. Seolah-olah film ini syuting di tempat sembarangan. Dengan visual yang sederhana dan CGI yang juga semampunya, film ini sangat bergantung kepada tension dan drama para karakternya. Sayangnya, kedua hal tersebut juga absen dalam film ini. Hasil akhirnya adalah sebuah franchise yang sepertinya sudah kalah bahkan sebelum bertanding. Sangat disayangkan.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International. (doc/mah)