'Logan': Jiwa dan Luka di Balik Seorang Mutan

'Logan': Jiwa dan Luka di Balik Seorang Mutan

Candra Aditya - detikHot
Kamis, 02 Mar 2017 17:10 WIB
Foto: 21century fox
Jakarta - 'Logan' bukanlah film superhero kebanyakan. Kali ini penonton akan menemukan bahwa film ini merupakan sebuah drama khusus orang dewasa yang kebetulan karakter-karakternya adalah mutan-mutan dari 'X-Men'. Ketika gambar pertama kali muncul dan kita menyaksikan sosok Logan (Hugh Jackman), kata pertama yang ia ucapkan adalah "fuck".

Logan
yang kita lihat sekarang bukanlah Logan yang pernah kita kenal. Ini tahun 2029. Waktu telah menunjukkan efeknya kepada Logan. Kulitnya keriput, badannya penuh dengan bekas luka, dan keahliannya untuk menyebuhkan luka mulai memudar. Sementara mutan-mutan di luar sana mulai punah, Logan berusaha keras untuk bertahan hidup dengan menjadi sopir limo.

Logan
mengumpulkan uang agar dia bisa hidup tentram bersama Professor Charles Xavier (Patrick Stewart, fantastis) di tengah laut, jauh dari cengkeraman manusia yang berusaha memunahkannya. Dibantu oleh Caliban (Stephen Merchant, dalam keadaan yang hampir tidak bisa dikenali), Logan memaksa Professor Xavier untuk menekan kekuatannya.

Keadaan berubah ketika Logan bertemu dengan seorang ibu yang memintanya untuk mengantarkan dirinya, dan seorang gadis cilik bernama Laura (Dafne Keen, mematikan hanya dalam sekali tatap) ke sebuah lokasi di North Dakota. Dengan bayaran yang banyak dan karena sedang butuh uang, Logan menerima tawaran ini. Sampai akhirnya berbagai macam orang yang tidak ingin dia temui datang dan meminta Laura. Kini misi Logan pun berubah 180 derajat.

Semenjak bisnis Hollywood bertumpu pada franchise film superhero, kita mulai dibiasakan untuk menyaksikan hal yang sama berulang-ulang. Sebuah spektakel yang luar biasa, lengkap dengan CGI mahal dan produksi yang hanya bisa didapat dengan bujet ratusan juta dollar dan karakter yang ikonik. Isi perjalanannya hampir selalu sama, karakter dan dunianya saja yang berbeda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa orang mencoba mengubah template. 'Guardians of the Galaxy' mengganti tokoh utamanya dengan berandalan. 'Deadpool' menggunakan humor-humor kasar dan kekerasan tingkat tinggi untuk menggantikan adegan-adegan mahal yang dipunyai oleh film-film dari Marvel Cinematic Universe. Kemudian muncul 'Logan'.

'Logan' adalah sebuah film drama yang menyamar sebagai film superhero. Sebagai sebuah film superhero, 'Logan' menawarkan adegan-adegan aksi brutal sadis yang mungkin hanya bisa ditandingi oleh dua film serial 'John Wick'. Film ini memang tidak menawarkan efek visual berlebihan yang biasanya ada di film-film sejenis. Dari awal, sutradara James Mangold memang tidak tertarik untuk itu. Mangold mencoba menggambarkan 'Logan' senyata mungkin dengan suntikan western film di sana-sini. Tapi, bahkan tanpa adanya efek visual yang berlebihan, 'Logan' tetap tampil prima berkat pengadeganan yang begitu brutal dan memuaskan.

Sebagai sebuah film drama 'Logan' adalah sebuah drama pahit tentang seseorang yang berusaha keras untuk menahan luka. Mangold, dibantu dengan Scott Frank dan Michael Green sebagai penulis skripnya, mengobrak-ngabrik konvensi film superhero—baik secara plot maupun karakterisasi—untuk menceritakan luka batin Logan dengan konklusi yang paten. Cerita tentang seorang laki-laki yang dihantui masa lalu dan menahan luka ini kemudian menjadi hidup ketika Hugh Jackman mengerahkan kemampuan terbaiknya berakting sebagai Logan. Penampilannya tidak hanya fenomenal, namun juga membuat Anda merinding. Penonton bisa menyaksikan kepedihan hatinya hanya melalui nanar sinar matanya.

Dengan road movie sebagai plot, Mangold berhasil membuat 'Logan' bukan hanya sebagai sebuah film superhero yang mempunyai hati namun juga pengantaran yang sempurna untuk film terakhir Jackman sebagai Logan. Visual Mangold—dibantu oleh sinematografer John Mathieson—menggaungkan itu. Debu yang kita lihat di sepanjang film adalah bagaimana perasaan Logan yang berkecamuk. Kemudian film diakhiri dengan elemen air yang tenang.

Berbeda dengan film superhero kebanyakan yang temponya berjalan cepat, 'Logan' bergerak tenang seperti mobil yang dikendarai Laura. Penempatan antara drama dan adegan aksinya rata. Pengadeganan dramanya memang terasa jauh lebih dominan daripada adegan aksinya, tapi justru karena dramanya kuat, begitu penonton melihat darah dan organ tubuh berterbangan di layar, efeknya terasa jauh lebih maksimal. Adegan aksi yang terjadi terasa bukan hanya sekedar show-off. Efeknya jauh lebih memikat.

Penampilan aktor-aktornya begitu memikat. Dafne Keen menunjukkan betapa ganasnya ia sebagai mutan belia dalam sekali lirik. Patrick Stewart menunjukkan level baru yang belum pernah ia tunjukkan selama ia memainkan peran ini. Tapi sesuai judul filmnya, 'Logan' adalah milik Hugh Jackman.

'Logan' bisa saja dikritik sebagai film yang jor-joran menunjukkan adegan kekerasan yang berlebihan sebagai daya jual. Tapi, sesuai dengan karakternya yang seperti pusaran tornado, kekerasan dalam film ini adalah hal yang tidak bisa dihindari, seperti rasa bersalah yang dirasakan oleh Logan terhadap semua orang yang pernah ia sakiti. Film ini mungkin menawarkan rasa senang ketika darah bermuncratan di layar. Tapi, berhati-hatilah ketika film ini berhenti berteriak. Di tengah ketenangan itu, Mangold memaksa kita untuk menyaksikan kepedihan Logan. Dan, di saat itu, jangan kaget jika mata Anda mulai berkaca-kaca.

'Logan' bukan hanya film terbaik 'X-Men' sepanjang sejarah. Tapi, ini adalah film superhero terbaik selama tujuh tahun terakhir.

Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.

(mmu/mmu)

Hide Ads