'Cinta Laki-laki Biasa': Bukan Kisah Roman Religi Biasa

'Cinta Laki-laki Biasa': Bukan Kisah Roman Religi Biasa

Masyaril Ahmad - detikHot
Senin, 05 Des 2016 11:08 WIB
Foto: Starvision
Jakarta - Jika pepatah pernah bilang 'Jangan Melihat Buku dari Sampulnya', maka kalimat itu mungkin pas untuk dikaitkan dengan film 'Cinta Laki-laki Biasa' yang diproduksi oleh Starvision; jangan melihat dari permukaan luarnya. Sekilas, dengan judul yang terkesan biasa-biasa saja, ide cerita yang cukup klise, nyatanya bukan menjadi alasan untuk tidak menggarap film dengan bagus dan maksimal. Dan, sekali lagi, sutradara Guntur Soeharjanto membuktikan film 'Cinta Laki-laki Biasa' lebih dari sekedar kisah roman religi biasa.

Berkolaborasi sejak film 'Assalamu'alaikum Beijing' (2014) dan 'Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea' (2016), Guntur Soeharjanto, penulis novel Asma Nadia dan penulis skenario Alim Sudio kembali memberikan performa terbaik mereka seperti biasanya. Hadir dengan pendekatan cerita drama romantis bernuansa religi, 'Cinta Laki-laki Biasa' di luar dugaan mampu menghanyutkan emosi tentang arti sebuah perjuangan, cinta dan kesederhanaan. Sebelumnya, buku Asma Nadia seperti 'Emak Ingin Naik Haji' (2009) juga sukses difilmkan, dan semuanya cukup berkesan memberikan suatu fenomena segar film drama religi di Indonesia.

Kali ini diceritakan, Nania (Velove Vexia) adalah seorang mahasiswi arsitek kaya yang sedang melakukan kerja praktik di sebuah proyek pembangunan rumah sederhana di pinggir kota. Di sana ia bertemu dengan Rafli (Deva Mahenra) yang ditunjuk sebagai mentornya. Dalam hubungan kerja itu, benih-benih kekaguman yang berubah menjadi cinta pun muncul. Nania kagum melihat sosok Rafli yang gigih dan tulus saat bekerja, dan juga sosoknya yang dekat dengan agama. Sebaliknya, Rafli pun kagum dengan kerja keras dan kesederhanaan Nania.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Benih-benih cinta itu terus tersimpan hingga akhirnya setelah dua tahun mereka berpisah, Rafli memberanikan diri mengajak Nania untuk ta'aruf, bertemu dengan keluarganya dan menikah. Konflik terjadi ketika Ibu Nania (Ira Wibowo) dan kakak-kakak perempuannya (Dewi Rezer, Fanny Fabriana dan Donita) tidak menyetujui pernikahan mereka karena Rafli bukan berasal dari keluarga kaya. Belum lagi, Nania juga akan dijodohkan dengan seorang dokter bedah lulusan Jerman bernama Tyo (Nino Fenandez). Namun, dengan segala kegigihan Rafli dalam menyakinkan keluarga Nania, akhirnya pernikahan mereka pun disetujui.

Awalnya rumah tangga Rafli dan Nania berjalan bahagia dengan dikaruniai dua anak, hingga pada suatu hari cobaan pun menimpa mereka. Nania mengalami kecelakaan dan kehilangan semua memorinya. Rafli pun diuji untuk mengembalikan cinta Nania kembali seperti semula.

Barangkali kita sudah cukup sering melihat atau mendengar kisah-kisah drama cinta dengan tema serupa seputar konflik perbedaan strata sosial, cinta yang tidak direstui oleh orangtua, atau yang paling umum dan tragis kisah cinta dengan tokoh utama yang berujung mengalami hilang ingatan akibat sebuah kecelakaan. Sebut saja 'The Notebook' (2004), film drama roman fenomenal adaptasi novel tahun 1996 karya Nicholas Sparks yang berkisah tentang pengorbanan seorang pria yang berusaha mengembalikan memori kekasihnya yang mengidap demensia (penyakit pikun). Atau, ada juga 'The Vow' (2012) yang berkisah tentang pasangan yang baru menikah namun kemudian berubah tragis ketika sang istri mengalami kecelakaan dan hilang ingatan. Dan, masih banyak karya lain yang mengangkat tema yang sama. Namun, itu sebenarnya bukan alasan besar untuk tidak membuat sebuah film dengan tema yang sama menjadi tetap atau bahkan lebih menarik, dan 'Cinta Laki-laki Biasa' berhasil melakukannya.

Sutradara Guntur Seoharjanto yang pernah menggarap banyak film religi dengan arahan sinematografi ciamik seperti '99 Cahaya di Langit Eropa' (2013), kembali berhasil mengarahkan gambar-gambar sederhana menjadi lebih intim dan berkesan. Seperti ketika menggambarkan adegan di proyek pembangunan yang sekilas sederhana, namun digarap dengan serius dan mendetail. Atau, juga adegan lain saat Rafli dan Nania berdialog di sungai setelah menghadiri pernikahan, kampung mendadak disulap menjadi romantis dan hangat oleh pemandangan sungai dan anak-anak yang bermain air. Belum lagi saat Guntur menyulap Desa Pengalengan yang dingin menjadi lebih intim, melankolis, dan artistik. Apalagi juga didukung oleh iringan musik yang dikerjakan Andhika Triyadi yang membuat suasana semakin hanyut dalam emosi.

Dari sisi skrip, ide cerita Asma Nadia ini diterjemahkan dengan baik oleh Alim Sudio. Alur dibuat konsisten sejak mulai awal dari perkenalan tokoh hingga akhir, semuanya diatur rapi. Dialog yang juga banyak berisi dakwah-dakwah masih terdengar universal, lembut dan tidak menggurui.

Aktor-aktor yang berperan di film ini semuanya serba pas hadir memerankan karakter masing-masing. Akting Deva Mahenra dan Velove Vexia tidak diragukan lagi harus diacungi jempol; keduanyaberhasil memberikan "chemistry" terbaiknya memerankan tokoh suami dan istri yang berjuang mengembalikan cinta mereka. Dan, mungkin hanya di film ini, Anda akan melihat Velove Vexia mengaduk semen dan menata batako, atau memakan sambal petai. Aktor lain seperti Nino Fernandez, Dhini Aminarti, Dewi Yull dan lainnya semua datang dengan porsi yang pas tanpa didramatisasi dan dilebih-lebihkan.

Hingga akhirnya, film ini ingin menyampaikan pesan tentang makna perjuangan cinta, ketulusan dan kesederhanaan yang dikemas dalam drama religi. Meski terkesan sebagai "film sedih", namun 'Cinta Laki-laki Biasa' tetap terlihat romantis --tanpa harus berusaha keras-- dalam menyampaikan misi-misinya. Dan, mungkin film ini juga dapat membuat Anda tiba-tiba ingin berkunjung ke Desa Pengalengan di Jawa Barat.

Masyaril Ahmad penggemar film

(mmu/mmu)

Hide Ads