Secara sederhana, film ini bercerita tentang Amalia (Atiqah Hasiholan), seorang single parent yang workaholic, yang harus menghadapi cobaan hidup terberatnya. Yakni, berurusan dengan anak semata wayangnya, Aqil (Sinyo), yang divonis mengidap disleksia, sebuah gangguan dalam perkembangan baca-tulis yang umumnya terjadi pada anak menginjak usia 7 hingga 8 tahun. Meninggalkan segala urusan pekerjaan di Jakarta, Amalia mengendarai mobil bersama Aqil ke beberapa daerah di Jawa untuk mencari "kesembuhan" baginya.
Premis yang sederhana ini menjadi tumpuan film untuk bergerak maju, ditambah konflik kecil soal ketidakakuran antara Amalia dan Aqil, juga sejumlah konflik lain yang lebih kecil lagi yang selalu terasa dipaksakan kehadirannya sebagai bumbu demi kepentingan konflik itu sendiri. Seperti, ponsel Amalia yang terus berdering memanggil-manggil dirinya untuk kembali bekerja, Aqil yang hilang di tengah jalan, dan ayahanda Amalia yang keras seperti batu dalam menghadapai kemelut anaknya sendiri. Namun, itu semua tidak seburuk kedengarannya, berkat penampilan Atiqah dan Sinyo yang begitu dinamis saling melengkapi satu sama lain. Mereka membawakan peran masing-masing dengan begitu mengesankan, membuat film ini tetap menawan untuk disaksikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penulis naskah Jenny Jusuf juara sekali dalam menciptakan dialog-dialog yang membumi seperti yang pernah ia lakukan dalam 'Filosofi Kopi', dengan sempalan-sempalan humor yang berhasil tersampaikan. Agus Makkie mengeksekusi film ini dengan caranya yang asyik, sebuah debut penyutradaraan yang baik dan cukup mengesankan. Ajaklah ibu atau putera-puteri Anda untuk menonton film ini, sambil saling bergandengan tangan. Film ini menawarkan kehangatan, cinta kasih, dan persahabatan yang dapat kita rengkuh. Bila ada pesan yang dapat dipetik dari film ini, ialah semangat untuk saling mengerti dan memahami satu sama lain. Dan, pesan itu tersampaikan begitu saja, tanpa kita sadari ia sudah menyentuh hati kita.
Shandy Gasella pengamat perfilman (mmu/mmu)