Hal senada rupanya kini tengah melanda ‘Nay’, film terbaru garapan sineas sekaligus sastrawan Djenar Maesa Ayu (‘Mereka Bilang Saya Monyet’, ‘Saia’). ‘Nay’ bercerita tentang Nay (Sha Ine Febriyanti, ‘Beth’, ‘Novel Tanpa Huruf R’), seorang aktris yang tengah hamil dari hubungan dengan pacar barunya yang kesekian. Film dibuka dengan serangkaian potongan gambar hiruk-pikuk jalanan ibu kota di malam hari. Lalu, kita dibawa masuk ke dalam sebuah Mini Cooper yang dikemudikan oleh Nay. Dan, begitu seterusnya, sepanjang 80 menit kita seolah ikut duduk di samping Nay berputar-putar mengitari kota sambil ikut menguping pembicaraan-pembicaraannya dengan pacarnya, ibu pacarnya, teman-temannya, bahkan kita ikut mendengarkan pembicaraan khayalannya dengan ibunya yang tak kasat mata.
Secara konsep film ‘Nay’ memang sama dengan ‘Locke’-nya Steven Knight (2013). Film yang dibintangi Tom Hardy tersebut berkisah tentang Ivan Locke yang harus berkendara dari Birmingham ke London pada malam penting bagi penentuan karier dan hidupnya. Malam itu, di dalam mobil Locke menelepon isterinya, anak-anaknya, dan rekan kerjanya, memberitahu rahasia bahwa dirinya pernah terlibat “one night stand” dan kini ia harus menanggung konsekuensinya, sambil berusaha mempertahankan keluarga dan pekerjaannya agar tetap utuh terjaga. ‘Nay’ digarap seperti ‘Locke’, hanya konteksnya saja yang berbeda. Konteks yang berbeda inilah yang tak menjadikannya sebuah karya film “contekan”.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Djenar selalu bercerita tentang tokoh-tokoh yang sebenarnya merupakan persona dirinya sendiri; karakter Adjeng dalam ‘Mereka Bilang, Saya Monyet!’, karakter Perempuan dalam ‘Saia’, dan kini Nay dalam ‘Nay’ adalah persona Djenar sendiri, Djenar yang selalu berbicara soal moral, soal menjadi perempuan, soal sosiologi masyarakat Indonesia, dan persoalan-persoalan lain dalam sudut pandangnya. ‘Nay’ masih bicara soal itu, dalam kemasan yang mau tak mau akan dibanding-bandingkan dengan ‘Locke’.
Secara teknis ‘Nay’ digarap kurang maksimal. Continuity-nya sedikit berantakan, tapi tak sampai mengganggu penceritaan. Sha Ine Febriyanti sebagai Nay memulai film ini dengan kurang cukup meyakinkan, namun seiring film bergulir, lama-lama saya jatuh cinta juga kepadanya. Ia mesti lebih banyak tampil lagi di film-film lain. Penampilannya sungguh luar biasa.
Dalam ‘Nay’, Djenar masih mencoba mengurai posisi perempuan di mata masyarakat, uraian-uraian yang sebetulnya bukan hal baru bila Anda cukup akrab dengan karya-karya tulis maupun karya filmnya sebelum ini. Namun, sebagai kapsul waktu, ‘Nay’ jadi penting untuk dicatat sebagai film yang setidak-tidaknya merupakan salah satu yang paling jujur bercerita soal Indonesia, soal masyarakatnya yang menjunjung tinggi moral dan sifat-sifat adi luhung bangsa.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)