Petit (Joseph Gordon-Levitt dalam aksen Prancis) adalah seorang akrobator yang jago berjalan di atas tali. Dia terinspirasi dengan seni ini ketika pertama kali melihat Papa Rudy (Ben Kingsley dalam aksen yang tak terdeteksi) melakukan aksinya di depan ratusan pengunjung sirkus. Petit pun belajar otodidak untuk melakukan aksi yang sama. Hal yang membuat bapaknya muak dan mengusirnya dari rumah.
Tapi Petit bukan jenis orang yang mudah patah semangat. Ia jenis seniman yang kokoh, tahan banting dan agak egois. Dia harus mendapatkan apa yang dia mau. Maka, belajarlah dia pada Papa Rudy. Suatu hari, dia bertemu dengan Annie (Charlotte Le Bon), seorang seniman jalanan yang akhirnya menjadi tangan kanannya. Bersama Annie dan Jean-Pierre (James Badge Dale), Petit merencanakan atraksi gilanya di atas Notre Dame.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika Anda menonton dokumenter James Marsh yang begitu sensasional, ‘Man on Wire’, pasti Anda sudah tahu apa yang Anda harapkan dari ‘The Walk’. Dua-duanya mengadaptasi buku yang sama berjudul ‘To Reach The Clouds’ karangan Petit sendiri. Bedanya, ‘The Walk’ didukung dengan visual yang begitu megah dan efek yang sangat realistis yang akan membuat Anda seperti ikut melayang di udara.
Robert Zemeckis dan Christopher Browne sebagai penulis skrip membagi film menjadi tiga bagian. Bagian pertama, kita mengenal Petit semasa kecil dan pertemuannya dengan kolega-koleganya. Baik Joseph Gordon-Levitt, Charlotte Le Bon, Ben Kingsley atau James Badge Dale melakukan kerjanya dengan baik. Chemistry mereka benar-benar menonjok. Berkat Gordon-Levitt pulalah Petit bisa terlihat begitu kharismatik dan loveable.
Bagian kedua, kita berada di tengah-tengah film aksi. Dalam bagian ini kita tidak hanya sudah teranjur terlibat dalam aksi gila Petit, namun juga diperkenalkan dengan tokoh krusial dalam film ini: menara WTC yang perkasa. Bagian ini tidak hanya begitu menegangkan dan seru, namun Zemeckis berhasil menyuntikkan dosis komedi yang cukupan berkat tambahan aktor seperti Ben Scwartz, César Domboy, Steve Valentine dan terutama Benedict Samuel.
Dan bagian terakhir, Robert Zemeckis pamer keahliannya sebagai master visual. Ini bagian dimana Petit melakukan aksi gilanya dan akan membuat Anda jatuh cinta dengan apapun yang ia lakukan. Dengan efek visual yang benar-benar fantastis, bahkan dalam dua dimensi, bagian terakhir ‘The Walk’ tidak hanya terlihat indah namun juga sangat realistis sehingga bagi Anda yang fobia dengan ketinggian dijamin akan mulai mual. Sensasinya begitu magis. Anda akan benar-benar merasa seperti sedang berada di puncak menara hanya dengan sebuah tali yang menopang tubuh Anda.
Dengan sound design yang sempurna dan alunan Für Elise dari Beethoven, momen ini terasa begitu sakral sehingga bulu kuduk Anda bisa berdiri dengan sendirinya. Gordon-Levitt yang mendapatkan latihan intensif dari Petit yang asli untuk melakukan aksi ini nampak begitu menjiwai sehingga semuanya nampak seperti nyata.
Film ini memang agak terbata-bata di bagian awal. Keputusan Zemeckis untuk menyampaikan semua yang ada di benak Petit secara literal juga mengurangi kesyahduan film ini. Tapi, jangan terkecoh. Begitu Zemeckis kerasukan rasa percaya diri Petit, ‘The Walk’ berubah menjadi sebuah entertainment yang tidak hanya solid namun juga begitu menginspirasi. Bagi pecinta film biopik dan pengalaman sinematik yang tak ada duanya, ‘The Walk’ benar-benar tidak boleh dilewatkan.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(ich/ich)