'Battle of Surabaya': Bocah Penyemir Sepatu di Tengah Kecamuk Perang

'Battle of Surabaya': Bocah Penyemir Sepatu di Tengah Kecamuk Perang

Shandy Gasella - detikHot
Kamis, 27 Agu 2015 11:25 WIB
Jakarta - Saya tak akan memulai ulasan film ini dengan menulis kalimat pembuka semacam ini; "Di tengah gempuran film drama, komedi, dan horor esek-esek, kemunculan film animasi ’Battle of Surabaya’ memberi angin segar bagi industri hiburan tontonan di tanah air." Saya tak akan menulis demikian, sebab bukan pada pilihan genre film tertentu yang membawa “angin segar” itu, melainkan bagaimana si pembuat film melalui pilihan-pilihan kreatifnya dapat mengemasnya hingga kemudian angin segar itu berembus. Film ’Mencari Hilal’ merupakan angin segar bagi genre road movie, begitu pula film ’Inside Out’ terhadap genre animasi, misalnya. Lantas, seberapa kencang embusan angin segar dari film animasi 2D garapan Aryanto Yuniawan ini? Cukup kuatkah atau semilir-semilir saja?

‘Battle of Surabaya’ bakal tercatat dalam buku sejarah sebagai film (panjang) animasi 2D yang pertama ditayangkan di bioskop, dan konon kabarnya bakal tayang pula di sejumlah negara lain berkat jalur distribusi dari Disney. Dan, selain mencetak sejarah tadi, secara tema film ini juga bermain-main dengan sejarah; kisahnya sendiri mengambil latar periode waktu pasca kemerdekaan Indonesia.

Alkisah, Musa (diisi suara oleh Ian Saybani), seorang remaja baru akil balig, harus berjuang bertahan hidup di era awal kemerdekaan dengan menjadi penyemir sepatu. Ia hidup berdua bersama ibunya di sebuah kampung di Surabaya. Tentara Jepang tersingkir dari tanah air lantaran tentara sekutu datang, dan pejuang-pejuang tanah air kemudian bersiasat untuk melawan mempertahankan kemerdekaan yang belum lama diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Di saat itulah Musa si penyemir sepatu turut andil membuat peristiwa pertempuran 10 Nopember 1945 yang melegenda itu terjadi, lantaran ia ditugaskan oleh para petinggi pejuang tanah air untuk menjadi kurir pengantar surat-surat rahasia agar gerak-gerik para pejuang tak ketahuan oleh tentara sekutu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam misinya itu ia kemudian bertemu dengan Yumna (diisi suara secara kurang pas oleh Maudy Ayunda), cewek misterius jago ninjutsu, dan Danu (diisi suara oleh Reza Rahadian), cowok pejuang nasional berpenampilan keren seperti para ninja dari serial anime ’Naruto’. Lantas sepanjang durasi film kita menyaksikan kisah ketiganya saling berinteraksi satu sama lain; ada cerita tentang persahabatan, kasih tak sampai, hingga beratnya hidup lantaran kehilangan orang-orang terkasih akibat perang, dan tentu saja perjuangan tentara kita mengusir para penjajah dari tanah Jawa.

Premis film ini menarik sekali dan terlihat sederhana, harusnya ini bisa jadi tontonan yang keren yang mendobrak, tontonan yang selama ini kita impi-impikan hadir di bioskop. Bayangkan saja, peristiwa 10 Nopember 1945 itu merupakan episode epik peperangan yang pernah terjadi dalam sejarah berdirinya negara kita, melihat peperangan itu dapat direka ulang dalam pengadeganan film alangkah serunya bukan?

Butuh biaya puluhan hingga ratusan miliar untuk menghadirkan adegan pertempuran kolosal dalam film live action, dan maka dari itu film-film berlatarkan peristiwa sejarah perjuangan seperti ’Soekarno’, ’Sang Kiai’, ’3 Nafas Likas’, termasuk 'Tjokroaminoto' hanya mampu menghadirkan secuil adegan perang, dan menitikberatkan plot cerita pada narasi drama lantaran terbatas budget yang pas-pasan. Dalam film animasi inilah harapan saya akan adegan-adegan perang nan fantastis dapat terwujud, sebab itulah kelebihan film animasi, adegan apa pun dapat diwujudkan lantaran batasannya bukan budget melainkan imajinasi. Budget hanya mempengaruhi soal teknis saja, soal look dan segala penunjangnya.

Tim pembuat film ’Battle of Surabaya’ saya kira mampu membuat adegan pesawat tempur meledak lantas menabrak rumah-rumah di bawahnya, membuat adegan pertempuran kolosal dengan desingan peluru dan bom yang menggelegar di mana-mana, membuat adegan jeep-jeep tentara musuh terbakar, tank-tank mengamuk, dan sebagainya, terlepas look-nya nanti terlihat keren atau malah cupu, namun saya kira itu bisa dibuat. Sayangnya, pembuat film ini tak mengambil cara-cara itu. Walaupun film ini animasi, menontonnya tak ubahnya dengan menyaksikan film-film live action bertema sejarah yang sudah-sudah; jatuhnya tetap saja jadi tontonan melodrama dengan sedikit bumbu adegan perang.

Saya menduga jangan-jangan pembuat film ini sengaja mengantarkan kisah film ini demikian adanya dengan dalil antiperang. "There is no glory in war" (Tak ada kemuliaan dalam perang) -- begitu bunyi tagline film ini, dan seakan ingin mempertegas pesan “antiperang” film ini, lantas adegan peperangan hanya ditampilkan secuil saja, itu pun di pengujung film. Lantas sebagai film “antiperang”, apakah film ini berhasil menyampaikan pesannya?

Berbicara soal film antiperang, saya teringat akan film animasi dari studio Ghibli, ’Grave of the Fireflies’ (Isao Takahata, 1988) yang berkisah tentang tragisnya kehidupan seorang bocah seumuran Musa bersama adik perempuannya bertahan hidup di Jepang semasa perang dunia kedua pecah. Film tersebut menghadirkan peperangan dan konsekuensinya senyata mungkin, dan dalam ’Grave of the Fireflies’ perang tampil buruk sebab begitulah perang. Atau, kita bisa juga melihat film (live action) ’Empire of the Sun’ (Steven Spielberg, 1987) yang mengisahkan tentang Jim (diperankan oleh Christian Bale), seorang bocah Inggris seumuran Musa, yang harus bertahan hidup sendirian di tengah perang yang berkecamuk. 'Empire of the Sun' jelas sebuah film antiperang, dan lewat film tersebut kita melihat perang sebagai momok yang amat mengerikan. Steven Spielberg berhasil menyampaikan pesan antiperangnya lewat sudut pandang tokoh seorang bocah.

Lain dengan apa yang terjadi dalam ’Battle of Surabaya’. Sebagai film antiperang, pembuat film ini terlalu naif dalam menggambarkan kekejaman perang, mereka-reka karakter baik para pejuang nasional maupun para tentara musuh lantas memberi mereka personifikasi yang artifisial. Di film ini tokoh-tokohnya tampil seperti dalam cerita dari negeri dongeng yang utopis saja, nyaris tak ada satu pun karakter yang membumi.

Dan saya bahkan belum membicarakan soal plot film ini yang berantakan luar biasa, serta bagaimana film ini masih terjebak pada persoalan kewajiban menampilkan tokoh anu, si fulan, tokoh ini dan tokoh itu, hadir sesaat sekedar nampang dengan dilengkapi subtitle nama-nama mereka, padahal tak jelas pula apa juntrungannya menghadirkan mereka di tengah cerita film ini, film tentang seorang penyemir sepatu yang hidup pasca perang kemerdekaan.

Hal yang paling baik dari film ini, kualitas animasinya digarap dengan cukup impresif, lebih dari sekedar lumayan. Teknik animasi 2D digabungkan dengan 3D hasilnya ternyata cukup mengesankan. Saya tak mempersoalkan gaya animasinya yang kejepang—jepangan, secara keseluruhan animasinya tampil baik walaupun masih ada detail-detail kecil yang sedikit mengganggu seperti gerakan beberapa karakter yang ketika berjalan atau berlari terlihat masih kurang halus. Film ini juga memiliki tata suara garapan Richard Hocks yang baik, kecuali bagian scoring-nya yang sedikit membosankan.

Sebagai produser, pencetus cerita, penulis naskah, dan sekaligus sutradara film ini, Aryanto Yuniawan paling bertanggung jawab membawa proyek film animasi yang sangat ambisius ini pada akhirnya jadi melempem. Ia tak melibatkan penulis naskah handal yang sudah lama berkecimpung di industri film tanah air untuk membantu menulis skenario film ini, untuk urusan editing pun ia menyerahkannya kepada debutan Ivan Drummond. Hasilnya, bukannya angin segar yang diembuskan film ini, melainkan angin lalu yang kembali bertiup sambil menebar aroma tak sedap ke udara yang saya sudah hapal betul baunya.

Baik sebagai film fiksi maupun sebagai film (animasi) yang didasarkan atas kejadian nyata, ’Battle of Surabaya’ jelas tak bisa kita jadikan sebagai film rujukan, apalagi jadi semacam film wajib yang mesti ditonton segenap anak-anak sekolah. Dan bila menyangkut soal isu antiperang, film kartun ’Crayon Sinchan’ yang lucu itu atau ’Grave of the Fireflies’ yang dirilis 27 tahun lalu masih jauh lebih aktual dan lebih jujur ketimbang film ini. Namun, bila menyangkut soal peristiwa sejarah bangsa ini, jangankan melalui film, lewat buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan sekolah saja masih banyak yang menyangsikan kesahihannya.

Shandy Gasella pengamat film, bekerja di Badan Perfilman Indonesia(BPI)

(ich/ich)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads