Mari tinggalkan dulu sejenak hiruk-pikuk bioskop dengan film-film box office-nya. Luangkan waktu untuk menonton film ‘Siti’ yang tengah diputar di Kineforum, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Debut penyutradaraan film panjang Eddie Cahyono ini sebelumnya telah diputar di festival film internasional di Singapura, Rotterdam dan Italia.
Kini, saatnya publik Jakarta dan sekitarnya menyaksikan film yang diproduseri oleh Ifa Isfansyah tersebut. Nama-nama ini memang bukan kebetulan bila harus disebutkan sejak awal. Pada 2001, Ifa dan Eddie mendirikan rumah produksi Four Colour yang setahun kemudian melahirkan karya kolaborasi pendek berjudul ‘Air Mata Surga’. Belakangan, setelah merilis ‘Mayar’ di tahun yang sama, Ifa kemudian melesat dengan film-film besar, dari ‘Garuda di Dadaku’ hingga ‘Sang Penari’ dan yang terbaru ‘Pendekar Tongkat Emas’.
Saat sibuk dengan film yang terakhir disebut itu, Ifa memproduseri sahabatnya ini. Hasilnya, sebuah film hitam-putih yang cenderung gelap, berdialog bahasa Jawa, dan mengangkat isu sosial khas masyarakat kelas bawah. Film dibuka dengan teriakan-teriakan sebelum layar menampakkan gambar. Begitu layar mulai terang, kita tahu, tengah terjadi razia polisi di sebuah tempat karaoke murahan, tempat sang tokoh utama bekerja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untunglah, sang metro justru berpikiran lebih agak maju. Meskipun ketika mendengar bahwa tempat karaoke itu digerebek polisi ia mengucap syukur, tapi ia tetap bisa menerima apapun yang dilakukan Siti. Hubungan antara Siti dan sang mertua ini menarik, dan digali sejak awal, menghasilkan adegan-adegan yang ironis. Lihat misalnya setelah selesai mempersiapkan anaknya pergi ke sekolah, begitu sang anak berangkat, Siti langsung menyalakan rokok di depan mertuanya.
Kejutan-kejutan kecil itu ditampilkan sebagai lapisan-lapisan bawang yang ketika satu per satu terbuka, membuat penonton cukup terperangah dengan apa yang tengah terjadi pada si tokoh kita. Tidak ada kejutan besar; pembuat film ini hanya apa yang memang dibutuhkan untuk alur ceritanya. Dengan strategi naratif yang seperti itu, ‘Siti’ tampil efektif, bulat dan utuh sebagai sebuah tontonan sepanjang 88 menit.
Adegan menyalakan rokok itu dengan lembut “memperkenalkan kembali” Siti, yang membuat penonton seakan diingatkan, oh iya, dia kerja di karaoke. Apakah Siti juga pelacur? Lapisan bawang berikutnya terkelupas ketika seorang teman Siti tiba-tiba menyebut-nyebut nama Gatot, seorang polisi ganteng, dengan nada menggoda dan membuat Siti tersipu. Dari sini, drama perselingkuhan pun mulai menyusup dengan manis. Tapi, apakah ini perselingkuhan? Apakah itu bukan berarti Siti menjual diri?
Film ini menggambarkan pergulatan batin Siti, yang melakukan segalanya demi membayar utang suaminya. Ironinya sangat menohok, dan sampai ke penonton lewat adegan ketika Siti pulang dari karaoke dalam kondisi mabuk, meracau, tertawa, menangis, digotong-gotong oleh dua temannya. Ketika sang ibu mertua membukakan pintu dan bertanya, “Kenapa ini?” Dengan enteng teman Siti menjawab, “Mabok, Mbok!”
Siti yang mabok sepulang dari karaoke, adalah Siti yang mengajari matematika dan menemani anaknya bermain layang-layang. Dia juga Siti yang dengan serius mencarikan uang 5 juta dalam tiga hari, batas waktu yang diberikan oleh si penagih utang. Di siang hari, dia membantu mertuanya jualan peyek di pantai. Dengan beban kehidupan seperti itu, dan dengan segala yang dilakukannya, Siti justru tampak sebagai sosok yang kuat dan tegar, serta "bermoral" dan "baik hati" bak malaikat, pendek kata sempurna. Ini jadi catatan tersendiri bagi film ini.
Namun, ganjalan utamanya terletak pada dialog. Bagi yang cukup paham dengan 'sosiologi' bahasa Jawa, menonton film ini terasa seperti mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa Inggris di lingkungan kehidupan ala Barat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Simak bagaimana sang ibu mertua mengucapkan terima kasih pada Siti yang telah merawat anak laki-lakinya, juga kebiasaan Siti yang bercerita kepada sang suami sambil menyuapinya. Orang-orang Jawa tidak menciptakan percakapan dengan romantisme dan estetika seperti itu.
Catatan lainnya ditujukan pada beberapa adegan kilas-balik Siti dan sang suami di pantai. Kita tak terlalu jelas menangkap gambarnya, tapi hanya mendengar kata-kata yang puitis semisal, “…yang jelas aku percaya pada laut” (tentu saja dalam bahasa Jawa). Beberapa kilas balik ini ternyata tidak membantu apa-apa, dan tak memiliki fungsi bagi keutuhan cerita. Terkesan hanya untuk menampilkan dialog filosofis, yang sekali lagi, seperti dialog bahasa Inggris yang dialihbahasakan mentah-mentah dalam bahasa Jawa. Ketika Siti menarik Gatot ke bilik toilet, lalu mereka berciuman, si mas polisi ganteng itu tiba-tiba berbisik, “Iki dudu kowe, Ti” (Ini bukan kamu). Alamaaak!
Ngomong-ngomong soal dialog romantis-filosofis, bahkan si ibu mertua pun suatu kali mengucapkan “laut yang telah memberi kita makan, laut pula yang mengambilnya”. Dialog-dialog seperti itu selain terasa “wagu” juga terkesan pretensius. Ketika Siti dikejar-kejar si penagih utang, sang ibu mertua menyodorinya kalimat “Gusti ora sare”, alias “Tuhan tidak tidur”. Ini terlalu simplistik dan klise, juga kurang tepat sasaran. Secara keseluruhan, film ini sepertinya memang “kelebihan” dialog. Terbayang, seandainya dialog-dialog antartokoh itu dipangkas 50 persen, rasanya film ini akan semakin ciamik!
Bagaimana pun, ini adalah film yang telah mengantarkan pemeran utamanya, Sekar Sari sebagai Siti, meraih penghargaan Best Performance for Silver Screen pada kategori film Asia di Singapore International Film Festival 2014. Pada 2015, film ini menjadi “official selection” di International Film Festival Rotterdam dan Udine Far East Film. Sejak akhir pekan lalu, film ini bisa disaksikan publik lewat program pemutaran di Kineforum. Saksikan hingga Kamis (11/6) setiap pukul 14.15 (gratis), 17.00 dan 19.30 (donasi Rp 10 ribu).
(mmu/mmu)











































