'Nada untuk Asa': Hidup Normal dan Tegar Bersama HIV/AIDS

'Nada untuk Asa': Hidup Normal dan Tegar Bersama HIV/AIDS

- detikHot
Selasa, 10 Feb 2015 13:10 WIB
Jakarta -

Nada (Marsha Timothy, 'Pintu Terlarang', 'Tampan Tailor') harus menerima kenyataan pahit tatkala suaminya, Bobby (cameo dari Irgi Fahrezi), meninggal dunia akibat kanker. Film ini dibuka dengan adegan pemakaman Bobby yang dipenuhi sedu sedan sanak keluarga. Nada amat terpukul dengan kepergiannya. Kini, ia harus merawat tiga anaknya seorang diri; dua anak cowok umur 6-7 tahunan dan Asa yang masih bayi.

Beban yang baru saja dipikul Nada terasa semakin berat manakala ia harus menerima satu kenyataan pahit lainnya, bahwa Bobby mengidap HIV/AIDS di pengujung sisa hidupnya. Seorang dokter (Donny Damara, 'Lovely Man') menyarankan agar Nada memeriksakan dirinya segera untuk memastikan apakah ia tertular atau tidak. Adegan dialog antara pasien-dokter ini merupakan yang terbaik yang pernah ada dibandingkan film-film lain yang pernah menampilkan adegan serupa. Sungguh sebuah penampilan singkat dari Donny Damara yang tak terlupakan dan sekaligus menunjukkan kelasnya sebagai aktor.

Alkisah, Nada positif HIV, begitu juga Asa. Tentu saja dalam cerita semacam ini tokoh utama kita akan menderita, menangis terisak pilu penuh ratapan sendu. Dan, ya, film ini memang dipenuhi isakan-isakan tangis, namun bukan semata-mata untuk menangisi sang tokoh utama kita yang terdzolimi. Dalam adegan ketika Nada bercerita ihwal dirinya yang tertular HIV kepada ayah dan kakaknya, saat keberadaannya kini ditolak, saya terbawa haru dan tak terasa air mata menetes begitu saja tak terbendung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sutradara sekaligus penulis naskah Charles Gozali ('Finding Srimulat') berhasil menghadirkan film penuh isak tangis ini tanpa membuatnya jadi sekedar gelaran drama menye-menye. Naskah yang ditulisnya ini dipenuhi dialog-dialog cerdas, pun dalam temanya yang kelam ia masih sempat pula menyelipkan guyonan-guyonan segar. Porsi humor dalam film ini ibarat sesendok gula yang dituang ke dalam masakan gurih seperti gulai, menjadikannya sedap. Lihat saja misalnya adegan Asa dewasa (Acha Septriasa, 'Test Pack', 'Strawberry Surprise') yang hendak dipecat oleh bosnya di kantor karena ketahuan mengidap HIV. "Kau positif HIV. H-I-V! Kenapa kau tak bilang?" gugat bosnya dengan nada tinggi.

"Habis bos gak pernah nanya sih," jawab Asa dengan enteng. Saya tertawa lepas menyaksikan adegan ini, tapi juga haru. Saya mungkin tak cukup baik menceritakannya, maka Anda harus menyaksikannya sendiri. Acha Septriasa memberikan penampilan terbaiknya di film ini. Bahkan tak cuma Acha dan Marsha Timothy, hampir setiap pemain tampil baik di film ini. Marsha Timothy yang berperan sebagai tokoh utama kita paling bersinar di antara semua pemain; salah satu penampilan terbaiknya sepanjang kariernya di film. Dan, bila bukan karena kesungguhannya, film ini mungkin tak akan jadi tontonan yang seasyik ini.

Film ini bahkan berutang banyak pada setiap pemainnya yang tampil di atas rata-rata. Aktor pendukung Darius Sinathrya ('Kacaunya Dunia Persilatan') tampil meyakinkan sebagai Wisnu yang jatuh hati pada Asa. Chemistry antara ia dan Acha amat menggemaskan, kita pun dibuat larut terbawa irama hubungan mereka yang penuh persoalan. Mathias Muchus ('Garuda 19') sebagai ayah Nada, Inong Nidya Ayu ('Pintu Harmonika') sebagai saudari kandung Nada, semua tampil mengesankan.

Musikus Pongki Barata bahkan tak hanya dapat bernyanyi, melainkan berakting dengan amat baik pula di film ini! Kurang hebat apalagi coba? Dan, seakan tak mau kalah dengan yang lain, Wulan Guritno juga tampil pol-polan lewat penampilan singkatnya. Satu adegan ketika ia beradu akting dengan Marsha Timothy menegaskan bahwa Wulan masihlah seorang aktris yang bertaji, dan saya bakal menanti-nantikan penampilannya di film-film selanjutnya.

Di tangan pembuat film yang salah, kisah orang berpenyakit serius seperti kanker, HIV/AIDS yang berada pada situasi hidup-mati biasanya akan dieksploitasi sebagai perangkat plot murahan demi memancing linangan air mata penonton. Setelah membuat 'Finding Srimulat' yang amat saya sukai, 'Nada untuk Asa' menegaskan bahwa Charles Gozali bukanlah sutradara sembarangan. Di antara kepungan film-film jelek yang kini sedang beredar, film ini amat perlu untuk disaksikan, dan Anda bakal berterima kasih kepada saya karena telah merekomendasikannya.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Hide Ads