Kisah diawali oleh Bia (Carissa Putri, ’Ayat-ayat Cinta’) yang bercerita kepada kita ihwal mengapa dirinya mengenakan jilbab. Disusul kemudian, dua temannya, Sari (Zaskia Mecca, ’Sang Pencerah’) dan Tata (Tika Bravani, ’Soekarno’) turut bercerita pula soal muasal mereka berjilbab. Bia berjilbab dengan model trendi, Tata berturban dengan menyisakan leher jenjangnya yang bebas terlihat, dan Sari mengenakan jilbab yang paling sesuai dengan aturan Islam; ia memakai terusan panjang menutupi seluruh badan kecuali tangan, kaki dan wajahnya.
Oh, ada seorang lagi sahabat mereka, Anin (Natasha Rizky, ’Get M4rried’); hanya dia di antara mereka yang tak mengenakan jilbab. Kecuali Anin pula, ketiga sahabat tadi sudah berkeluarga. Bia bersuamikan aktor pesinetron Matnur ((Nino Fernandez, ’Operation Wedding’), Tata bersuamikan seorang fotografer (diperankan Omesh), dan Sari bersuamikan seorang PNS keturunan Arab, Gamal (Mike Lucock). Sedangkan Anin berpacaran dengan seorang sutradara film-pendek-kontroversial-yang-karya-karyanya-amat-dihargai-di-luar-negeri, Chaky (Dion Wiyoko).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Naskah cerita yang ditulis oleh Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra (’Merry Riana’) ini minim konflik, bila tak mau disebut nihil. Cerita hanya berkutat pada segmen demi segmen lawakan yang digelar nyaris tanpa henti --heboh dan asyik sendiri.
Banyak sekali adegan yang diniatkan untuk melucu itu diada-adakan demi kelucuan itu sendiri, di antaranya misalnya adegan Mpok Ati yang nyuci di kali dan Cici Tegal yang komplain pesanan jilbabnya salah kirim. Saya diminta untuk tertawa tanpa tahu sebenarnya mereka itu pelanggan yang terjaring lewat pemasaran apa? Twitter atau Instagram? Belum lagi adegan Matnur yang kepergok sedang casting film pocong; PH mana coba yang mengharuskan talent-nya untuk mengenakan kostum pocong sambil loncat-loncat keluar ruangan? Lalu ada pula adegan ormas Islam yang memprotes film karya Chaky, tapi mengapa dalam unjuk rasa mereka malah foto sutradara lain (Hanung Bramantyo sendiri salah satunya) yang diacung-acungkan? Ada juga secuplik adegan cewek mirip Omaswati yang cuma cengar-cengir hilir mudik sambil mengenakan jilbab yang tak jelas juntrungannya, adegan yang diada-adakan demi adegan itu sendiri, bukan bagian atau setidaknya mendukung cerita.
Itu baru empat contoh adegan yang saya sebut, masih ada belasan adegan lain yang serupa. Lihat juga misalnya ketika mertua dan ayahanda Gamal ditanyai Habib Ahmad (Alhabsyi) soal sudah berapa lama ia minggat dari rumah, ayahnya menjawab tiga hari, mertuanya menjawab empat hari. Ditanya kembali oleh Habib, kemudian ayahnya mengganti jawaban jadi empat hari, dan mertuanya menjawab tiga hari. Lelucon usang ini saja masih dijual oleh film ini. Duh, Gusti!
Tak ada cerita yang benar-benar solid di film ini, semuanya parsial saja. Isu seputar girl power --perempuan yang bisa bekerja dan memiliki penghasilan sendiri-- tak benar-benar disikapi secara tegas. Pada akhirnya, tak seperti temannya yang lain, Sari sampai akhir film diceritakan masih diharamkan bekerja oleh suaminya.
Namun, tak segaris dengan kontennya, secara teknis film ini didukung oleh bakat-bakat mumpuni. Faozan Rizal (’Hijrah Cinta’, ’Perahu Kertas’) membingkai setiap adegan film ini dalam shot-shot yang asyik, gerakan kamera yang dinamis, juga terlihat eksperimennya dalam bermain pencahayaan menambah nilai estetika sinematografi film ini. Wawan I Wibowo (’Belengu’, ’Hari Ini Pasti Menang’) juga berhasil menyunting gambar film jadi satu tontonan utuh yang enak dilihat, tentu saja (sekali lagi) itu terlepas dari ketidakistimewaan naskah yang dimiliki film ini.
Di pengujung film saat Anin ditanya oleh sahabat-sahabatnya perihal alasan mengapa pada akhirnya ia berjilbab, jawabannya meracau panjang tak berujung pangkal, sampai kemudian ia ditanya kembali dan dengan enteng ia menjawab, "karena aku pilih Chaky." Andai kata yang bertanya kepada Anin adalah Mr. Fletcher dari film ’Whiplash’, sudah tentu dengan menjawab begitu Anin bakal babak belur dilempar kursi.
Dalam 'Hijab' semua hal dilawakkan, ada yang berhasil lucu, tapi banyak yang terjatuh menjadi olok-olok tanpa makna. Maka, secara keseluruhan, film ini menjadi karikatur tanpa konteks. Jangankan menjadi film penuh satire sebagai katakanlah semacam "kritik ideologi" terhadap fenomena "jilbab lifestyle" yang merupakan bentuk komodifikasi agama, sekedar meledek dan menyindir saja film ini tak punya daya.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)