Dalam 'Lucy', Johansson berperan sebagai seorang mahasiswi yang sedang melanjutkan studinya di Taipei. Kehidupannya terpaksa berbelok ketika dia harus berurusan dengan penjahat kelas atas, Mr. Jang (Choi Min-Sik, aktor kelas A yang diimpor dari Korea) untuk menyelundupkan narkoba jenis baru. Kontainer narkoba tersebut bocor dan merasuki tubuhnya yang akhirnya membuatnya mampu untuk mengoptimalkan otaknya lebih dari kebanyakan orang. Dan di sinilah kesenangan dimulai.
Walaupun premis Luc Besson tentang kemampuan rata-rata manusia memakai otak sebanyak 10% sudah diklaim tidak valid oleh banyak ilmuwan, namun bukan berarti ide Besson tidak menarik. Ide ini memang bukan ide yang baru. Neil Burger pernah melakukannya dalam 'Limitless' yang membuat Bradley Cooper menjadi manusia paling cerdas sedunia. Tapi, 'Lucy' keluar dari kepala seorang pencipta 'La Femme Nikita', 'Leon (The Professional)' dan 'The Fifth Element', tentu saja ini menjadi berbeda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
'Lucy' dibuka tanpa basa-basi. Besson yang mengedit sendiri filmnya tahu sekali risiko ini. Keuntungannya, penonton bisa langsung terjun ke bagian seru tanpa harus menunggu terlalu lama. Tapi, penonton menjadi kurang lekat dengan karakter Lucy. Oke, Lucy memang hampir ada di setiap adegan. Film ini dijalankan dengan ketidakberuntungan Lucy mempunyai pacar seperti Richard (Pulou Asbaek) untuk mengantarkan koper kepada Mr. Jang. Tapi, dibutuhkan sedikit lebih banyak penjelasan latar belakang --siapa dia, datang dari mana, berasal dari keluarga seperti apa-- untuk membuat penonton jauh lebih peduli dengan apapun yang dia lakukan. Sehingga, penonton tak merasa berjarak dengan karakter Lucy.
Analeigh Lipton yang berperan sebagai roommate Lucy pun terasa seperti lukisan bagus yang tidak berguna. Setali tiga uang, adegan Lucy menelepon ibunya terasa seperti menghilang begitu saja. Tapi, melihat keseluruhan filmnya, Besson memang tidak berniat menjadikan Lucy sebagai film character study. Dia hanya ingin mengajak penonton tripping bersama-sama dengan Scarlett Johansson. Dan untuk kasus ini, Johansson berhasil melakukan tugasnya dengan sempurna. Lucy tidak akan tampil semematikan itu tanpa kepiawaiannya memainkan karakter ini. Perubahan sosoknya dari mahasiswi paranoid sampai menjadi Lucy yang sakti mandraguna dilakukan dengan begitu mudah. Perannya di sini begitu krusial mengingat dia hampir ada di 95% adegan dalam film ini. Salah casting, Lucy bisa menjadi gagal total.
Β
Bagian sepertiga akhir 'Lucy' memang tidak terduga --untuk tak mengatakan βacak-acakanβ yang akan membuat Anda membandingkannya dengan 'The Matrix' atau '2001: A Space Odyssey'. Tapi, itu tak membuat Lucy menjadi tontonan yang buruk. Sebagai sci:fi action, Lucy sudah memberikan segala yang kita harapkan: visual canggih, penceritaan ala Besson, adegan aksi yang keren dan Scarlett Johansson membunuhi para penjahat. Untuk itulah 'Lucy sangat direkomendasikan. Terutama untuk alasan terakhir.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)