Tren film omnibus rupanya masih hip di tahun ini. Belum lama ini film 'Princess, Bajak Laut dan Alien' garapan Eko Kristianto, Alfani Wiryawan, Rizal Mantovani, dan Upi sempat ikut mengisi etalase bioskop di Tanah Air kita. Walau dibuat untuk segmen penonton yang berbeda, namun jelas film tersebut masihlah melanjutkan spirit yang sama dari beberapa pendahulunya semisal 'Rectoverso', 'Sanubari Jakarta', 'Kita Vs Korupsi', 'Dilema', dan juga '3Sum' yang beredar dua tahun belakangan ini.
Ada beberapa alasan di balik terciptanya sebuah film omnibus, entah itu dilatarbelakangi idealisme para pembuatnya, atau juga karena terbatasnya budget produksi dan lain sebagainya. Yang paling menarik bagi penonton untuk menyaksikan film omnibus biasanya karena ragam film ini menawarkan banyak pilihan sutradara dan juga pemain, serta suguhan beberapa cerita yang berbeda yang bisa dinikmati dalam sekali duduk. Lalu, apa yang ditawarkan oleh omnibus terbaru bertajuk 'Aku Cinta Kamu' ini?
Segmen pertama omnibus ini diisi oleh 'Firasatku', disutradarai sekaligus dibintangi oleh Acha Septriasa ('Love is Cinta', 'Bangun Lagi Dong Lupus') sebagai Sita, kekasih Randu (Rio Dewanto, 'Hello Goodbye', 'Modus Anomali') yang dilanda rasa cemas di saat ia tengah mempersiapkan rencana pernikahan mereka. Randu cuek-cuek saja, bahkan terkesan tak peduli sama sekali dengan segala urusan tetek-bengek pra pernikahan mereka berdua. Menurut firasatnya, Sita menduga bahwa Randu berselingkuh dengan orang lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keempat kisah dalam omnibus ini ditulis oleh Casandra Masardi ('Tampan Tailor', 'Get M4rried') berdasarkan empat lagu cinta karya Piyu, dan unsur-unsur klise tadi dari yang paling klise yang pernah ada, disematkan juga dalam rajutan kisah di tiga sisa segmen lainnya.
Dalam segmen 'Cinta Adalah', sutradara Fajar Nugros ('Cinta Brontosaurus', 'Adriana') menampilkan kisah kasih Raisha (Eriska Rein, 'Cinta Brontosaurus') yang tak sampai kepada tetangganya sendiri, Kim (Kim Kurniawan, 'Tendangan dari Langit'), seorang pesepakbola asing yang tengah membangun kariernya di Indonesia. Saat Kim Kurniawan mampu untuk tampil meyakinkan serta menarik perhatian dalam peran yang dimainkannya, arahan Nugros beserta sejumlah aspek teknis lainnya malah membuat segmen ini jadi terlihat payah dan berantakan.
Semua adegan yang melibatkan Kim bermain bola dibuat seadanya saja, tak tampak usaha yang sungguh-sungguh bahkan untuk sekedar menggambarkan suasana berlatih bola dalam setting yang sepatutnya saja; Nugros tak membuatnya jadi sesuatu yang bernilai. Bila memang hal ini jadi kendala yang tak bisa diatasi, lantas kenapa tak membuat tokoh Kim ini jadi seorang guru native bahasa asing saja misalnya? Toh, dengan begitu kisah masih dapat berjalan tanpa merusak plotnya. Bahkan bisa jadi lewat cara ini kisahnya bakal jauh lebih memikat, daripada ngotot ingin menampilkan gimmick dunia sepakbola yang pada akhirnya malah jadi cupu untuk kita saksikan.
Tak berhenti sampai di situ, lagi-lagi kisah di segemen ini pun dibumbui resep klise maha menggelikan. Si tokoh utama kita ditabrak mobil, lalu entah bagaimana ia kemudian menjadi buta, dan ini menggiring kita kepada titik kulminasi segala klise yang pernah ada; ia harus mendapatkan donor kornea agar mampu melihat kembali. Ingat sinetron 'Tersayang' yang dibintangi Anjasmara, Faira Jihan dan Adam Jordan pada dekade 90-an?Atau, sinetron-sinetron setelahnya hingga cerita-cerita di FTV yang mungkin pernah Anda saksikan beberapa waktu lalu?
Di saat negeri tetangga kita seperti Thailand mampu menghasilkan karya film omnibus sekeren '7 Something' (2012, Jira Maligool, Adisorn Tresirikasem, dan Paween Parijtipanya) yang dibuat dengan cerita, penyutradaraan dan production value yang tak main-main, masih ada saja sekelompok pembuat film kita yang terjebak pada banalitas pengisahan yang sungguh minta ampun dalam bertutur. Jangankan berkaca pada sejumlah film bertema serupa dari negeri tetangga, dibandingkan dengan sejumlah film omnibus Indonesia lainnya pun 'Aku Cinta Kamu' ini berada jauh di bawah rata-rata secara kualitas.
Pun dua segmen sisanya, termasuk segmen pamungkas yang biasanya memiliki kejutan, tak membuat film omnibus ini jadi sedikit lebih baik. Pada segmen ketiga yang berjudul 'Sakit Hati', dua sejoli Gerry (Giorgino Abraham, 'Tendangan dari Langit') dan Lisa (Pevita Pearce, 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck') memadu kasih sedari SMA. Diceritakan, Gerry senang menyanyi dan membuat lagu, mereka juga punya tempat favorit untuk bermesraan bersama di sebuah daerah pegunungan. Ya, mereka bersekolah di Jakarta, tapi sepulang sekolah mereka pergi ke daerah pegunungan yang entah di mana dan jaraknya berapa puluh kilometer dari Jakarta.
Demi membiayai keperluan sehari-hari, juga tekadnya untuk memiliki sebuah motor, Gerry sepulang sekolah kerja di bengkel mobil sebagai montir. Sebagai seorang musisi yang pandai membuat lagu di era Youtube dan Twitter ini, ia lebih memilih bekerja sebagai montir di bengkel mobil ketimbang mengunggah penampilan menyanyinya ke internet, atau ikut audisi kontes menyanyi, atau setidak-tidaknya jadi penyanyi kafe. Seakan ini tak terdengar menggelikan, tambahkan adegan seorang produser musik yang sekonyong-konyong menyodorkan kartu namanya kepada Gerry, dan menawarinya rekaman album! Boom! Dan, saya merasa tak perlu untuk menelaah lebih lanjut sampai ke segmen pamungkas.
Baiklah, sedikit saja. Film omnibus ini ditutup oleh 'Jernih' yang secara ajaib disutradari oleh seorang musisi ternama, Piyu, pentolan grup band Padi. Ia seorang musisi yang handal, satu dari sedikit pencipta lagu hits paling disegani di negeri ini, namun menyutradarai film jelas bukan bidang yang ia kuasai dengan baik. Segmen garapannya ini komedik, dan nuansa yang tampil amat terasa seperti hasil garapan Fajar Nugros. Mungkin saja ia memang terpengaruh oleh rekan kerjanya itu; yang pasti, komedi yang muncul tampak menggelikan dan cerita serta cara bertuturnya bertentangan dengan segala hukum alam.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)