'Kau dan Aku Cinta Indonesia': Ruang Dialog bagi Yang Tak Pernah Terkatakan

'Kau dan Aku Cinta Indonesia': Ruang Dialog bagi Yang Tak Pernah Terkatakan

- detikHot
Senin, 20 Jan 2014 16:32 WIB
Jakarta - Bagi Anda yang kini berusia di atas 30-an, tentu masih ingat dengan film seri TVRI bertajuk 'ACI' (Aku Cinta Indonesia) yang ngetop dan jadi tontonan wajib di era 80-an.

Sekedar menyegarkan kembali ingatan, judul 'ACI' selain berarti 'Aku Cinta Indonesia' juga merupakan singkatan dari tiga tokoh utamanya, Amir (Agyl Syahriar), Cici (Dyah Ekowati Utomo), dan Ito (Ario Sagantoro). Mereka digambarkan sebagai para remaja berprestasi dan idola di "SMP Kota Kita".

Kini, tiga dekade kemudian, serial tersebut dihidupkan kembali dalam format layar lebar bertajuk 'Kau dan Aku Cinta Indonesia', digarap oleh Dirmawan Hatta yang tahun lalu dua film arahannya, 'Optatissimus' dan 'Toilet Blues', tampil sangat memuaskan secara kualitas, walaupun tak mampu berbuat banyak di box office.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Judul film ini barangkali bisa bikin 'ilfil' sebagian calon penonton. Embel-embel "Cinta Indonesia" mungkin langsung menerbitkan kekhawatiran bahwa film ini, layaknya film dengan tema sejenis, akan jualan "nasionalisme hormat bendera" semata. Tapi, benarkah demikian?

Kali ini, tak ada lagi remaja bernama Amir, Cici, dan Ito. Kini karakter-karakter tadi mewujud menjadi Andi (Elang El Gibran), Cahaya (Zulfa Maharani Putri), dan Ian (Imam Shihab). Satu-satunya benang merah dengan serial ACI terdahulu adalah karakter Cici (masih diperankan oleh Diah Ekowati Utomo) yang kini tentu saja sudah "tua", dan tak lain adalah ibu dari Cahaya. Selebihnya, tentu disesuaikan dengan kekinian, dan juga masih menyoal tentang upaya edukasi melalui bentuk-bentuk budaya massa. Hanya saja Dirmawan Hatta memiliki cara sendiri yang unik dan khas untuk menyampaikan gagasan-gagasannya melalui film ini.

Kisah bermula saat Cici mengantar Cahaya ke sebuah desa yang terletak di antara dua gunung. Ada sawah menghampar di sisi jalan menuju ke desa itu, persis seperti gambar yang selalu dibuat oleh anak-anak ketika diminta oleh guru di kelas untuk menggambar pemandangan. Ya, film ini membuktikan bahwa gambar pemandangan itu ternyata memang benar-benar ada. Dan, di sanalah nenek Cahaya tinggal seorang diri.

Cici yang merupakan orangtua tunggal bagi Cahaya hendak pindah ke luar negeri demi karier. Ia berharap Cahaya dapat tinggal sementara waktu dengan neneknya sambil lebih memahami negerinya sendiri sebelum suatu hari nanti dijemput kembali. Cahaya pun pergi ke sekolah di desa itu, tempat ia bertemu dengan Andi dan Ian, serta teman-teman baru lainnya, juga Pak Guru Jay (Jay Wijayanto) yang menarik. Kedatangan Cahaya dan pertemuannya dengan orang-orang baru itu kemudian mengubah keseharian dan kehidupan masing-masing.

Film ini dipenuhi banyak sekali karakter dengan masalahnya masing-masing, dan yang paling mengejutkan, semua karakter itu mampu tampil maksimal tanpa saling membayangi satu sama lain. Tak ada satu pun karakter yang tampil dengan sia-sia.

Secara sederhana, 'Kau dan Aku Cinta Indonesia' adalah perpaduan antara kesederhanaan 'Cita-citaku Setinggi Tanah' (Eugene Panji, 2012) dengan keindahan film-film Alenia Pictures, serta mewarisi filosofi 'Keluarga Cemara' yang klasik-legendaris itu. Ramuan dan spirit itu dikemas dengan arahan yang khas oleh Dirmawan Hatta. Dan, inilah penjabaran yang paling mudah untuk menggambarkan film ini, walaupun sebetulnya masih jauh lebih kompleks daripada itu. Misalnya, bahwa di film ini teknologi adalah hal yang wajar menyebar sampai ke pelosok desa tanpa membawa dampak negatif seperti yang secara stereotip biasa digambarkan di film ber-setting 'daerah' sebelumnya, seperti pada 'Di Timur Matahari' (Ari Sihasale, 2012). Nge-blog, mengunggah foto, stalking akun Twitter menggunakan smartphone maupun tablet nampak begitu halus, tak terlihat mengada-ada bak yang tertampil dalam 'republiktwitter' (Kuntz Agus, 2012) misalnya.

Sejatinya, film ini dipenuhi oleh karakter-karakter remaja usia belasan tahun, bercerita lewat sudut pandang mereka; soal cinta monyet yang konyol-lugu-naif, soal status hubungan-hubungan --antara sesama teman, dengan orangtua, gebetan, lingkungan-- dan tentang dialog-dialog antara anak-anak dan orangtua yang selama ini tak terkatakan.

Film ini tak berpretensi untuk selalu tampak ceria bak kebanyakan film lain yang menampilkan tokoh anak-anak. Bahkan, pada titik tertentu lebih sering terasa muram, lalu gagasan-gagasan yang tersampaikan meninggalkan ruang perenungan bagi siapa pun orang dewasa yang menontonnya.

Ini memang bukan jenis film semisal 'Petualangan Sherina', pun tak seperti sederet film anak-anak produksi Alenia Pictures. Mungkin film ini tak akan mudah disukai oleh anak-anak pada umumnya. Namun, orang dewasa, terutama para pasangan muda yang tengah membesarkan anak yang tumbuh remaja akan dengan mudah jatuh hati pada film ini. Dan, menjadikannya referensi untuk membangun dialog dari hati ke hati dengan sang buah hati.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Hide Ads