'What They Don't Talk About When They Talk About Love' adalah buah gagasan yang meninggalkan banyak ruang untuk dibaca ulang. Mouly tak hanya membawa kita masuk ke dunia fiksi rekaan terbarunya, ia pun mengajak kita untuk lebih dekat lagi mengalami kenyataan lewat pendekatannya yang tak biasa. Dan, kenyataan yang tak biasa itu kita temui di sebuah SLB (sekolah luar biasa) bersama dengan beberapa penghuninya.
Diana (Karina Salim) adalah seorang penderita miopia, ia hanya dapat melihat suatu obyek dari jarak yang sangat dekat sekali. Ia lalu bertemu dengan Andhika (Anggun Priambodo) yang belum lama mengalami kebutaan. Diana dalam satu kesempatan berhasil dengan samar-samar melihat wajah Andhika, dan sejak itu ia mulai 'tebar pesona' demi mendapatkan perhatiannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu banyak aspek yang patut ditelaah dari karya kedua Mouly Surya ini (setelah 'Fiksi', 2008), terlebih pada keberhasilannya mengemas film ini dalam nuansa sinematis alternatif yang menggemaskan. Film ini, dalam presentasi alternatifnya, tetap terasa komunikatif. Mouly tanpa mengesampingkan gagasan kreatifnya yang agak nyeleneh itu tetap mampu menyampaikan pesan filmnya kepada penonton secara mengesankan.
Melalui keempat tokohnya, Mouly melempar gagasan tentang sifat alamiah manusia yang ditampilkan dalam situasi yang paling sederhana, terutama dalam kaitannya dengan urusan cinta dalam sudut 'pandang' dan 'dengar'. Sekaligus, ia bereksperimentasi terhadap dua panca indera tersebut lewat pilihan-pilihan kreatifnya sebagai sutradara. Ada ungkapan yang sudah kadung diamini oleh banyak orang bahwa laki-laki jatuh cinta karena apa yang mereka lihat, dan perempuan jatuh cinta karena apa yang mereka dengar. Melalui pembacaan film ini, bisa saja persepsi itu diruntuhkan.
Edo naksir Fitri karena ia dapat melihat rupa Fitri yang jelita. Ia, seperti kebanyakan lelaki lain, dengan muslihatnya mencoba mendekati Fitri. Edo berbohong kepada Fitri dengan berpura-pura menjadi 'hantu dokter', sosok yang diyakini keberadaannya oleh Fitri. Mereka tukar-menukar surat, hingga pada akhirnya Fitri menerima keberadaan Edo. Pada situasi ini ungkapan 'laki-laki jatuh cinta karena apa yang mereka lihat' memang terasa pas.
Situasi yang berbeda terjadi dengan Diana. Sebagai perempuan, ia jatuh cinta justru pada saat ia dengan samar-samar melihat wajah Andhika. Diana kemudian mencoba mendapatkan perhatian Andhika. Nadia pada situasi ini sejajar dengan Edo, lelaki yang jatuh cinta karena pandangannya.
Diperlakukan secara istimewa oleh Diana, Andhika cuek saja. Tak seperti Edo yang dapat melihat, kemampuannya untuk tertarik terhadap orang lain hilang bersamaan dengan fungsi penglihatannya. Lewat jalinan kisah Diana dan Andhika, teori laki-laki jatuh cinta karena apa yang mereka lihat, dipertanyakan kesahihannya. Jangan-jangan bukan persoalan lelaki atau perempuan, namun ini persoalan siapa yang (dapat) melihat.
Mouly sedari awal memang mempersoalkan ihwal fungsi pandang-dengar ini, dua fungsi yang biasanya tak terpisahkan dari film sebagai bentuk karya audio-visual. Lewat film ini kita diajak merasakan untuk menjadi Diana dengan melihat satu adegan yang sepenuhnya ditampilkan dengan gambar buram, melihatnya persis seakan dari kedua bola mata Diana. Di lain adegan, kita pun dibawa masuk ke dunia Edo dengan ikut melihat lewat sudut pandangnya, namun tanpa suara-suara yang dapat kita dengar.
Keduanya sama-sama tak nyaman untuk dialami. Sayang, sutradara kurang nakal untuk menampilkan sudut pandang Fitri dengan kebutaan totalnya. Kita mungkin akan melihat layar menghitam seakan proyektor bioskop mengalami gangguan, namun kita masih dapat mendengar suara-suara. Menarik bukan?
Bahasa gambar adalah bahasa yang paling mudah dan efektif untuk dipahami, seperti halnya Edo yang menemukan cintanya lewat indera penglihatannya. Dalam beberapa adegan yang ditampilkan tanpa suara, kita masih dapat menikmatinya seperti menonton film-film bisu di era awal sejarah perkembangan film. Sudut pandang 'pandangan' ini terus membayangi hingga secara tak disadari mengganggu eksperimen lain yang dilakukan terhadap pendengaran.
Alunan suara di sepanjang film ini memang asik tak terbantahkan, begitu menyatu dengan atmosfer cerita sedari film ini bermula. Dengar misalnya lagu 'Burung Camar' yang dinyanyikan secara ensambel di awal film, 'Twinkle Twinkle Little Star' dalam keriangannya yang ganjil, juga jangan lupakan lantunan 'Nurlela' yang dibawakan Bing Slamet lewat radio, begitu pun musik hasil garapan Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang membius. Namun, apakah kita dapat benar-benar menikmati suara-suara itu hanya dengan mendengar tanpa melihat apa yang tampil di layar?
Jangan-jangan kita asik menikmati suara-suara itu karena sambil melihat, dan secara tak disadari kesan asik itu justru tercipta karena kemampuan daya 'pandang' yang mempengaruhi dan membentuk kesan terhadap suara yang kita dengar. Seperti Edo dan Diana yang menemukan cinta lewat indera 'pandang', bukan hal mustahil film ini pun dicintai lebih karena reka visualnya.
Tak cukup bermain-main dengan penginderaan pandang-dengar, Mouly menunjukkan kenakalannya yang lain dengan tiba-tiba di tengah film memberi twist realitas alternatif yang mengejutkan --bila tak mau dibilang membingungkan. Hampir tak ada pembeda yang jelas antara realitas satu dengan yang lain. Tiba-tiba saja Edo berbicara, Andhika memboncengkan cewek cantik dengan sepeda motornya, dan Diana menari balet. Mereka tampil dengan fisik yang tak jauh beda dalam realitasnya masing-masing. Bila penonton tak jeli, hal itu bisa jadi menggiring ke dalam jurang kebimbangan, lalu dengan setengah kesal garuk-garuk kepala.
Para aktor bermain dengan sangat meyakinkan, terlebih bagi Ayushita, ini adalah lompatan yang jauh bagi karier aktingnya. Nicholas Saputra pun tampil beda tanpa kehilangan pesonanya. Karina Salim jelas menjadi idola baru. Siapa coba yang tak jatuh hati padanya?
Film yang diberi label 'arthouse' ini, dengan segala capaian sinematis alternatifnya jelas bukanlah karya sembarangan yang dapat kita abaikan. Salah satu mahakarya terbaik sejauh ini. Meminjam istilah yang sering digunakan oleh para kritikus Hollywood kenamaan, film ini adalah sebuah Instant Classic!
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)