'Rumah di Seribu Ombak': Perbedaan yang Menyatukan

'Rumah di Seribu Ombak': Perbedaan yang Menyatukan

- detikHot
Kamis, 30 Agu 2012 12:08 WIB
Rumah di Seribu Ombak: Perbedaan yang Menyatukan
Jakarta - Hukuman penjara bagi seorang seniman selalu membawa hikmah tersendiri. Banyak karya tulis bagus lahir dari dalam penjara. Bagi mantan bos majalah Playboy Indonesia Erwin Arnada, karya itu bahkan tak hanya diterbitkan sebagai buku, melainkan juga telah menjelma menjadi sebuah film, dengan judul yang sama 'Rumah di Seribu Ombak', yang disutradarainya sendiri.

Diputar di bioskop mulai hari ini, 'Rumah di Seribu Ombak' berkisah tentang persabatan yang melintasi perbedaan, yang kemudian berkembang menjadi cinta dan berakhir duka. Dengan latar panorama alam Singaraja, Bali yang eksotik, dikemas dalam gambar-gambar yang kelam-temaram, film ini menghadirkan suasana ngelangut yang panjang, dan meninggalkan sebuah lobang yang menganga di dada setelah menontonnya.

Dikisahkan dari sudut pandang tokoh Samihi setelah dewasa (diperankan Andre Julian), 'Rumah di Seribu Ombak' hadir sebagai sebuah kenangan. Semuanya berawal dari pertemuan antara Samihi belia (Risjad Aden) dengan Wayan Manik alias Yanik (Dedey Rusma). Samihi yang merupakan seorang muslim pendatang di kampung itu kerap 'dikerjain' oleh anak-anak setempat. Suatu kali, Yanik melihat dan menolongnya, lalu mereka pun berteman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yanik yang asli Singaraja dan seorang Hindu mengajari Samihi banyak hal, termasuk ketika Samihi hendak mengikuti lomba ngaji. Yanik memembawa sahabatnya itu ke seorang guru kidung untuk belajar vokal. Sampai di sini, kita sudah mendapatkan gambaran bagaimana film ini dengan indah menggambarkan betapa perbedaan tak menjadi penghalang untuk sebuah penyatuan yang tulus.

Alur cerita bergulir dengan tangkas, dan tanpa bertele-tele adegan demi adegan dengan efektif memasuki lapisan-lapisan misteri di balik tokoh-tokoh yang dikisahkan. Yanik yang polos dan baik hati ternyata menyimpan luka kehidupan yang awalnya sebenarnya tak ingin dibaginya kepada siapapun, termasuk Samihi. Namun, persahabatan mereka sudah sedemikian jauh, bahkan melibatkan adik Samihi, Syamimi serta orangtua masing-masing.

Film ini memberikan kejutan cerita pada setiap bagiannya, layaknya sebuah film misteri yang memaku kita ditempat duduk tanpa berani menarik napas. Dengan semua itu, kita memaafkan sejumlah kekurangan film ini, misalnya ketakselarasan antara karakter Yanik belia dengan Yanik dewasa (Riman Jayadi).

Juga, kita menjadi agak abai dengan kecenderungan Erwin untuk "main aman", misalnya dengan membelokkan misteri persahabatan Samihi dengan Yanik yang sejak awal terasa begitu 'homoerotik' menjadi kisah cinta heteronormatif antara Yanik dengan Syamimi (adik Samihi). Namun, film ini kemudian ditutup dengan keputusan Samihi (dewasa) yang mengejutkan. Ada dua kemungkinan, Edwin bingung sendiri dengan ceritanya sehingga menjadi tidak konsisten, atau ia memang sengaja 'bermain-main' dengan misteri perasaan tokoh-tokohnya.

Bagaimanapun, ending film ini sungguh luar biasa, memberikan ruang kepada penonton yang sejak awal memang telah dibikin peduli pada tokoh-tokohnya, untuk semakin masuk dan terlibat secara emosional ke dalam cerita film ini. Sebuah persembahan yang istimewa bagi perfilman Indonesia. Terima kasih dan selamat buat Erwin Arnada dan timnya!


(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads