Diputar di bioskop mulai hari ini, 'Rumah di Seribu Ombak' berkisah tentang persabatan yang melintasi perbedaan, yang kemudian berkembang menjadi cinta dan berakhir duka. Dengan latar panorama alam Singaraja, Bali yang eksotik, dikemas dalam gambar-gambar yang kelam-temaram, film ini menghadirkan suasana ngelangut yang panjang, dan meninggalkan sebuah lobang yang menganga di dada setelah menontonnya.
Dikisahkan dari sudut pandang tokoh Samihi setelah dewasa (diperankan Andre Julian), 'Rumah di Seribu Ombak' hadir sebagai sebuah kenangan. Semuanya berawal dari pertemuan antara Samihi belia (Risjad Aden) dengan Wayan Manik alias Yanik (Dedey Rusma). Samihi yang merupakan seorang muslim pendatang di kampung itu kerap 'dikerjain' oleh anak-anak setempat. Suatu kali, Yanik melihat dan menolongnya, lalu mereka pun berteman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alur cerita bergulir dengan tangkas, dan tanpa bertele-tele adegan demi adegan dengan efektif memasuki lapisan-lapisan misteri di balik tokoh-tokoh yang dikisahkan. Yanik yang polos dan baik hati ternyata menyimpan luka kehidupan yang awalnya sebenarnya tak ingin dibaginya kepada siapapun, termasuk Samihi. Namun, persahabatan mereka sudah sedemikian jauh, bahkan melibatkan adik Samihi, Syamimi serta orangtua masing-masing.
Film ini memberikan kejutan cerita pada setiap bagiannya, layaknya sebuah film misteri yang memaku kita ditempat duduk tanpa berani menarik napas. Dengan semua itu, kita memaafkan sejumlah kekurangan film ini, misalnya ketakselarasan antara karakter Yanik belia dengan Yanik dewasa (Riman Jayadi).
Juga, kita menjadi agak abai dengan kecenderungan Erwin untuk "main aman", misalnya dengan membelokkan misteri persahabatan Samihi dengan Yanik yang sejak awal terasa begitu 'homoerotik' menjadi kisah cinta heteronormatif antara Yanik dengan Syamimi (adik Samihi). Namun, film ini kemudian ditutup dengan keputusan Samihi (dewasa) yang mengejutkan. Ada dua kemungkinan, Edwin bingung sendiri dengan ceritanya sehingga menjadi tidak konsisten, atau ia memang sengaja 'bermain-main' dengan misteri perasaan tokoh-tokohnya.
Bagaimanapun, ending film ini sungguh luar biasa, memberikan ruang kepada penonton yang sejak awal memang telah dibikin peduli pada tokoh-tokohnya, untuk semakin masuk dan terlibat secara emosional ke dalam cerita film ini. Sebuah persembahan yang istimewa bagi perfilman Indonesia. Terima kasih dan selamat buat Erwin Arnada dan timnya!
(mmu/mmu)











































