'Sanubari Jakarta' sebenarnya berpotensi menyajikan kekuatan tema. Walaupun bukan hal baru, tapi cerita seputar LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), tapi kaum minoritas ini masih kurang terepresentasikan dalam sinema Indonesia secara proporsional. Dan inilah keunikan film berdurasi 100 menit ini.
Lola Amaria, sang produser, menyatakan bahwa film ini tidak untuk membela atau menghakimi kelompok LGBT, tetapi sebagai bagian mengedukasi mereka. Hasilnya, 10 film pendek dengan masing-masing berdurasi 10 menit tentang sosok-sosok manusiawi yang lain. Kaum LGBT di sini tidak lagi menjadi obyek penderita atau obyek penyerta yang hanya menjadi sampingan bahkan bahan tertawaan (ingat Emon? Atau waria di film Warkop?), tetapi menjadi pemeran utamanya, dengan tanpa malu-malu menyatakan preferensi seksual mereka. Tetapi, tentu saja, dengan cara yang cukup elegan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalahnya, seperti kala kita membaca cerita di antologi cerpen, tidak semua film pendek itu sama kekuatannya. Ada yang bagus dan mengajak penonton terlibat dan hanyut ke dalam cerita, ada yang gagal bertutur. Mungkin, karena ini adalah proyek omnibus yang sebagian filmmaker-nya adalah pemula atau belum banyak jam terbangnya. Jadinya, tanpa mengurangi semangat untuk membuka jalan bagi dialog dan representasi minoritas, kesannya jadi ajang latihan film.
Pertama, rata-rata representasi yang disajikan adalah stereotipe atau yang sudah diketahui secara umum tentang bagaimana mereka diperlakukan. Walau upaya untuk riset dilakukan, tapi tidak semuanya menyajikan kedalaman konflik atau kematangan bercerita. Kedua nyaris tidak ada eksplorasi cara bertutur, sehingga filmmaker bermain aman dan standar. Ini bisa dimaklumi juga karena kebanyakan adalah pembuat film pemula.
Favorit saya adalah 'Kentang' besutan Aline Jusrina. Film diawali dengan adegan mesra Drajat dan Acel yang selalu diinterupsi oleh banyak hal yang mengganggu: telepon dari mamanya Drajat, kamar kos yang bocor, ketukan pintu dari tetangga. Dengan memakai formula komedi, film ini berhasil mengocok perut penontonnya dan membuat penontonnya terhanyut ke dalam cerita. Dan penonton bisa mengaitkan kejadian itu dengan dirinya, tak peduli apakah gay atau straight.
Segmen menarik lainnya adalah 'Menunggu Warna' arahan Adriyanto Dewo. Film ini sama sekali tidak ada dialog, hitam putih, dan yang bermain adalah bahasa (audio) visual, dengan kata kuncinya adalah lampu lalu lintas.
'Malam Ini Aku Cantik' dari Dinda Kanyadewi sebenarnya begitu menyentuh, karena berbicara soal waria yang melakukannya demi menafkahi anak istrinya di kampung. Tapi, kalau sudah menonton 'Lovely Man' (Teddy Soeraatmaja, 2011), film ini terasa seperti versi pendeknya, karena persamaan tema dan alur cerita.
Sedangkan 1/2 karya Tika Pramesti bercerita tentang dialog batin seorang pria yang ingin coming out menjadi gay, dengan niat ingin mencium rekannya yang sedang menyetir mobil kala mereka travel bersama. Di sini, warna dieksplorasi, dengan disain produksi yang unik—dua kamar dengan dua warna dan tata ruang dan perabotan virtual.
Sedangkan 'Lumba-lumba' karya Lola Amaria bercerita tentang pendekatan asmara antara seorang guru TK (Adinda) dengan orang tua murid (Anggya), yang disekati oleh statusnya sebagai seorang istri dan ibu. Lumba-lumba di sini adalah simbol binatang penyuka sesama jenis.
Untuk kasus pria yang berubah menjadi wanita, ada 'Kotak Coklat' ( Sim F), yang menceritakan hubungan Reuben dan Mia yang gundah karena ia harus menceritakan metamorfosanya yang berubah menjadi cantik jelita setelah operasi plastik.
Segmen lainnya, seperti 'Pembalut' (Billy Christian), 'Topeng Srikandi' (Kirana Larasati), 'Terhubung' (Alfrits John Robert), 'Untuk A' ( Fira Sofiana) juga masih seputar LGBT. Pembalut hanya memakai satu aktor yang memerankan banyak karakter, sebenarnya menyajikan persoalan khusus para lesbian. 'Topeng Srikandi', sayangnya masih berkutat pada filosofi Srikandi yang banyak orang sudah akrab, tapi tak dijelaskan mengapa sang tokoh memakai “topeng” itu, karena tak ada penjelasannya di awal. 'Terhubung' hanya menceritakan tentang dua wanita yang berbeda dunia dan marah-marah karena hak gendernya tertindas, dan disatukan oleh bra.
'Untuk A', tentang pria yang tadinya adalah wanita, perlu banyak fokus agar bisa mengerti jalan cerita yang sebagian dihabiskan pada adegan mengetik yang tak tuntas. Jadinya, film ini seperti mozaik kehidupan yang latar belakangnya adalah orang dengan orientasi seks yang berbeda. Intinya, dari segi tema, semua mengupas berbagai aspek: waria, lesbian, gay, pria berubah menjadi wanita, perempuan operasi kelamin menjadi lelaki, kendala khusus kaum lesbian, dan biseksual.
Bagi yang ingin menonton, inilah kesempatan untuk menyelami lebih dalam kehidupan LGBT. Dengan membuka pikiran, kita akan melihat cerita yang menyentuh dan diharapkan akan lebih menghargai hak hidup mereka yang pada akhirnya adalah juga manusia juga seperti orang kebanyakan.
Film yang diproduksi oleh Yayasan Kresna Duta dan Ardhanary Institute ini sedang tayang di Indonesia dan rencananya juga akan dibawa ke Korea, San Fransisco, Belanda dan negara-negara di Asia Tenggara.
Ekky Imanjaya redaktur rumahfilm dan pengajar film di Binus International.
(mmu/mmu)