Film ini mendekati biopik Suu Kyi sebagai sebuah kisah cinta. Setelah dibuka dengan latar belakang sejarah yang terjadi di Rangoon pada 1947, alur melompat ke Inggris pada 1988. Pada 1947, Suu Kyi adalah bocah perempuan berumur 3 tahun yang didongengi ayahnya tentang negerinya. Sang ayah, Jenderal Aung San, adalah tokoh politik (kala itu) Burma, yang kemudian tewas dibunuh lawannya.
Pada 1988, Suu Kyi adalah suami dari seorang akademisi Oxford, Michael Aris dan ibu dan dua orang anak lelaki yang menginjak remaja. Perjalanan Suu Kyi menjadi pejuang pembebasan rakyat Myanmar dari kediktatoran Junta Militer dimulai ketika kabar ibunya sakit keras mengharuskannya pulang ke Tanah Air. Momen kepulangan Suu Kyi dimanfaatkan oleh para aktivis demokrasi untuk meminta perempuan itu memimpin gerakan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam gambar-gambar yang tampil sebagai kilasan tanpa dialog, Luc Besson memperlihatkan aktivitas baru Suu Kyi bergerak hingga ke pelosok-pelosok menemui pendukungnya. Namun, dalam porsi yang lebih banyak, kamera secara intens mengikuti apa yang terjadi di "balik layar". Yakni, bagaimana sang suami Michael Aris nun di London sana mendukung Suu Kyi lewat lobi-lobi internasional, termasuk memperjuangkan di kancah Hadiah Nobel.
Michael, bersama dua anaknya, juga wara-wiri ke Burma sebelum akhirnya pada suatu masa visanya benar-benar ditolak. Suu Kyi sendiri, seperti kita tahu dari permberitaan selama ini, menjalani tahanan rumah selama berpuluh-puluh tahun. Momen-momen mencekam, dan juga mengharukan dalam ketakberdayaan Suu Kyi menjadi sumber ketegangan sepanjang film ini, yang tak jarang membuat kita menitikkan airmata.
Karena didekati sebagai sebuah drama yang lebih menampilkan relasi-relasi personal dalam keluarga, 'The Lady' memang tak memberikan klimaks emosional yang diharapkan dari sebuah biopik tokoh besar. Namun, itu tak mengurangi daya gugah film ini sebagai sebuah pernyataan penting yang mengingatkan kita untuk menghargai kebebasan.
Michelle Yeoh sebagai Suu Kyi dan David Thewlis sebagai Micahel Aris menghidupkan tokoh yang diperaninya masing-masing dengan luar biasa. Sayangnya, chemistry di antara mereka sebagai suami-istri tak sekuat akting mereka. Dengan kedekatan geografis dan geopolitik antara Myanmar dan Indonesia, film ini terasa bagai cermin bagi penonton di sini.
Film ini semakin relevan untuk ditonton karena perjuangan Aung San Suu Kyi masih berlanjut sampai ketika film ini diputar di seluruh dunia. Pada pemilu sela 1 April lalu, partai Suu Kyi memenangkan kursi di parlemen dan untuk pertama kalinya Sang Oposisi, Sang Perempuan, akan duduk di sana, 23 April nanti. Sebelumnya, seperti tampak di film ini, Suu Kyi pernah memenangkan pemilu, dan dibatalkan oleh Junta Militer yang berkuasa.
(mmu/mmu)