'Langit Biru': Pesan Anti-Bullying di Balik Drama Single Father

'Langit Biru': Pesan Anti-Bullying di Balik Drama Single Father

- detikHot
Kamis, 17 Nov 2011 13:20 WIB
Jakarta - Awalnya, film 'Langit Biru' hanya ingin bercerita tentang seorang ayah yang membesarkan anaknya seorang diri setelah ditinggal mati istrinya. Namun, dalam pengembangannya, penulis skenario Melissa Karim bersama sang produser Nia Dinata dan Hanna Carol menemukan "sesuatu yang stronger to say".

Alkisah, Daniel (Ari Wibowo) adalah seorang single father yang membesarkan anak gadisnya, Biru (Ratnakanya Anissa Pinandita). Bersama Timtom (Jeje Soekarno) dan Amanda (Baby Natalie), Biru tumbuh menjadi gadis remaja dalam lingkungan sekolah SMP unggulan, dan kompleks perumahan yang cukup elit.

Hari-hari tiga sekawan itu sungguh indah. Berangkat ke sekolah naik sepeda, menyusuri jalan kompleks yang hijau, dan dalam ketergesaan masih bisa menyempatkan diri singgah di danau untuk memberi makan angsa-angsa. Namun, sampai di sekolah, ada kenyataan lain yang harus mereka hadapi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bruno (Cody McCledon) dan gengnya selalu menganggu tiga sekawan itu, terutama Timtom yang sebagai cowok dianggap kurang jantan. Sementara, Biru yang tomboi-lah biasanya yang maju ke depan membela sahabatnya dan melawan Bruno. Dari situlah, alur film ini kemudian juga menyorot kehidupan pribadi masing-masing tokohnya.

Konflik di sekolah, di lingkungan tempat tinggal dan dalam keluarga masing-masing jalin-menjalin menyusun alur cerita yang enak diikuti. Mengemasnya dalam format musikal, sutradara Lasja Susatyo ('Bukan Bintang Biasa') berhasil menyajikan 'Langit Biru' sebagai film anak-anak yang manis dan menyenangkan, tanpa melupakan unsur petualangan detektif yang mendebarkan, yang biasa membingkai film genre ini.

Sebagai film anak-anak, 'Langit Biru' lebih mengutamakan mood yang memancarkan "energi positif" ketimbang konflik yang rumit dan menguras airmata ala sinetron. Konfliknya terbilang tipis. Timtom yang menjadi sasaran bully oleh Bruno cs sebenarnya hanyalah anak mami yang ke sekolah membawa bekal makanan, dan Bruno sendiri juga tak jahat-jahat amat.

Namun, dengan pilihan seperti itu, film ini justru mengena dan efektif menyampaikan pesannya. Layaknya film anak-anak umumnya, banyak pesan positif yang ingin disampaikan, dari pesan utama tentang persahabatan dan anti-bullying sampai dengan isu-isu yang lebih "berat" seperti soal keberagaman.

Bagusnya, film ini memasukkan unsur-unsur itu dengan lembut, bahkan lucu, sehingga tak terasa menggurui. Sejumlah dialog dituangkan dalam bentuk gerak dan lagu, dengan koreografi (dikerjakan oleh Adella Fauzi) yang ringan-asyik dan lagu rap yang mewakili emosi anak-anak. Musik dikerjakan oleh Pongky Prasetyo.

Malissa Karim sebagai penulis skenario sudah menampakkan bakatnya sebagai tukang cerita yang piawai lewat segmen 'Cerita Jakarta' dalam kompilasi 'Perempuan Punya Cerita' (2008). Film ini merupakan kerjasama keduanya dengan Lasja Susatyo setelah film itu.

'Langit Biru' melengkapi sejumlah film anak-anak yang muncul tahun-tahun belakangan ini yang umumnya mengangkat tema-tema "besar" seperti nasionalisme, kemiskinan dan meraih mimpi. Film ini menempuh jalur lain lewat isu-isu "kecil" tentang hubungan anak dan ayah tunggal, dan lingkungan tempat mereka tumbuh.

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads