Gejala seperti itu terlihat dengan jelas dalam film 'Skandal'. Di antara lautan sampah yang menghiasi bioskop Indonesia akhir-akhir ini, 'Skandal' mungkin memang bukan permata. Namun, Jose Poernomo bisa membuktikan bahwa film murah (dan mudah dibuat) belum tentu jelek –setidaknya dari segi teknis.
'Skandal' menggambarkan kehidupan pasangan kelas atas Jakarta, Mischa (Uli Auliani) dan Aaron (Mike Lucock). Mischa mencurigai suaminya, Aaron berselingkuh dengan asisten pribadinya. Mischa sendiri adalah istri yang sangat cantik, setia dan baik. Di tengah kegalauannya menghadapi sikap dingin suaminya itu, ia melihat mantan pacarnya, Vincent (Mario Lawalata) di sebuah kafe.
Mischa pun pun mendatangi Vincent di apartemennya. Masa lalu yang indah hadir kembali. Mereka pun melanjutkan hubungan yang sempat terputus akibat pernikahan Mischa. Vincent yang liar dan bahagia mampu memberikan kebahagiaan (dan seks) pada Mischa. Namun hubungan menjadi semakin rumit setelah frekuensi pertemuan mereka semakin padat. Anak Mischa, Michael mulai terlantar. Suaminya mulai curiga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Film ini berangkat dari sebuah cerita drama biasa namun diakhiri dengan thriller dan suspense yang tidak terpecahkan hingga akhir film. Setengah bagian awal film bisa dikatakan cukup menjanjikan. Meski bekerja dengan genre yang komersial, Jose Poernomo berusaha dengan keras untuk tidak menjadikannya 'bencana' . Sebagai sutradara, ia mempertahankan standar teknis dan visual yang cukup bagus meski di beberapa bagian sinematografinya agak mengganggu. Terutama, gerak kamera yang kadang goyah bahkan dalam adegan percakapan (bukan adegan dramatik macam pengejaran).
Penampilan aktor, terutama Mario Lawalata, Uli Auliani dan Gerry Iskak, relatif di luar dugaan, memberikan optimisme bagi penonton film Indonesia di masa depan. Mario Lawalata mungkin bisa jadi 'bad boy' yang menarik di layar sinema kita. Kelemahan film ini mungkin terlihat di setengah bagian akhir ketika alur cerita mulai memasuki suspense/thriller. Di bagian ini, skenario sepertinya tidak tahu bagaimana mengakhiri cerita perselingkuhan selain mengikuti standar normalitas dan moralitas konservatif.
Dengan menambahkan unsur ketakutan dan teror, film ini justru terlihat kebingungan. Kedekatan yang dibangun sedemikian rupa antara Vincent dan Mischa pun dihancurkan demi mengikuti moralitas dan tatanan keluarga yang utuh. Semua persoalan di dalam cerita film pun disalahkan pada sang laki-laki kedua, Vincent yang di setengah awal film tampak tidak melakukan kesalahan apapun.
Film mengakhiri cerita dengan menjadikan perempuan (kembali) sebagai pihak yang paling bersalah dan oleh karena itu harus dihukum. Potensi untuk membalik naratif justru tidak dilakukan. Sungguh disayangkan, untuk sebuah usaha seperti yang dilakukan pembuat film bagus macam 'Jelangkung' (2001, bersama Rizal Mantovani) dan 'Angker Batu' (2007).
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.
(mmu/mmu)