'Cewek Saweran': Dangdut, Cita-Cita dan Kekecewaan

'Cewek Saweran': Dangdut, Cita-Cita dan Kekecewaan

- detikHot
Senin, 07 Mar 2011 10:35 WIB
Jakarta - Eddie Cahyono bukanlah nama baru dalam dunia film independen di Indonesia. Setelah membuat berbagai film pendek di Yogyakarta bersama kelompok Fourcolours Films, Eddie kini mendapat kesempatan untuk membuat film panjang, berjudul 'Cewek Saweran'. Bersama penulis Ifa Isfansyah, yang juga anggota Fourcolours Films dan yang telah lebih dulu terjun ke 'industri' film, Eddie membuat sebuah film realis yang menarik, namun tak cukup meyakinkan.

Sebagai veteran dalam film-film berbasis Yogyakarta, Eddie Cahyono mampu menjaga 'spirit'  dan atmosfer kota dan masyarakat Yogyakarta. Namun dengan karakterisasi dan akting protagonis yang begitu lemah, film 'Cewek Saweran' berakhir sebagai debut yang mungkin akan dilupakan. Judul film ini (dan posternya) sendiri cenderung mereduksi premis film yang sebenarnya menarik menjadi film komedi murahan yang akhir-akhir ini banyak beredar di bioskop di Tanah Air.

'Cewek Saweran' bercerita tentang Ayu (dimainkan oleh Juwita Bahar), gadis yang berasal dari desa kecil di pinggiran Yogyakarta, yang berambisi menjadi penyanyi dangdut terkenal. Ia pun meninggalkan ayahnya yang sedang sakit-sakitan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Ibu Ayu yang pernah menjadi penyanyi dangdut telah meninggal ketika Ayu kecil. Di Yogyakarta, Ayu menumpang di rumah Ningsih, tantenya yang membuka usaha salon kecil-kecilan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ayu bertemu dengan Dimas, teman kecilnya yang tinggal di dekat rumah Ningsih. Mahasiwa fotografi itu berusaha membantu Ayu dengan mengantarkannya mencari pekerjaan ke seantero kota, namun tak berhasil. Ayu pun kemudian bekerja membantu Ningsih di salon. Dimas mengetahui bahwa Ayu memiliki bakat menyanyi dangdut. Ia pun membawanya ke bos grup dangdut yang biasa manggung di Purawisata, bernama Dargombez (dimainkan secara mengesankan oleh pemusik Djaduk Ferianto).

Setelah diberi kesempatan manggung, Ayu justru gugup dan tidak bisa menyanyi. Cita-citanya untuk menyanyi di Purawisata pun kandas. Namun Dimas yang mengajak temannya, Angga, berusaha menyemangati Ayu. Dengan segan, Ayu akhirnya mau mengamen dangdut demi mendapatkan uang dan membuktikan bahwa ia memang mempunyai suara yang bagus. Setiap kali menyanyi, Ayu selalu menyedot perhatian penonton. Mereka mengeluarkan lembar demi lembar uang untuk saweran.

Dari situlah Ayu mendapat julukan cewek saweran. Ia pun mulai dipanggil untuk pentas di tempat-tempat yang lebih prestisius. Ketenaran Ayu membuat Dargombez kembali memanggilnya untuk menyanyi di Purawisata. Ia pun mendapatkan kontrak rekaman. Namun cerita belum berakhir karena Ayu harus menghadapi persoalan-persoalan lain yang menguji keteguhan hatinya untuk jadi penyanyi dangdut, termasuk konflik-konflik dari para laki-laki di sekitarnya yang berusaha merebut hatinya.

Pengalaman Eddie Cahyono dalam film pendek tampak maksimal dengan standar produksi yang relatif bagus, terutama di departemen sinematografi dan artistik. Bekerja dengan aktor-aktor teater dan televisi membuat para pemeran pembantu dan figuran tampil dengan sangat meyakinkan –kalau tidak bisa dikatakan sebagai istimewa. Pemain seperti Djaduk Ferianto dan Heru Kesawamurti bermain dengan luar biasa.

Namun sayangnya, pemeran utama Juwita Bahar justru tidak dapat memberikan penampilan yang diharapkan. Selain kesan 'anak Jakarta'-nya yang tidak bisa hilang, karakterisasi yang lemah membuat perannya sebagai Ayu menjadi bagian yang paling buruk dari seluruh film. Padahal dalam film-film realis dengan cara bertutur klasik, motivasi dan situasi protagonis merupakan penggerak cerita yang paling penting.

Film ini menggunakan narasi tipikal klasik (baca: Hollywood) yakni film yang menggambarkan seorang yang bukan apa-apa (zero) menjadi seseorang yang penting (hero). Dan konflik, bagi film seperti ini akan menjadi bagian penting karena ia mampu menunjukkan keteguhan dan kemenangan sang protagonis menghadapi berbagai rintangan.

Konflik adalah titik penting alur yang akan menghancurkan atau justru memperkuat karakter. Namun, dalam film ini, konflik menjadi bagian yang mengganggu dan mengecewakan. Alih-alih memperkuat karakter Ayu yang berambisi menjadi penyanyi dangdut terkenal, berbagai konflik di film ini justru menunjukkan miskin dan lemahnya motivasi Ayu untuk mencapai cita-citanya.

Meskipun Ayu digambarkan berbeda dengan penyanyi-penyanyi dangdut lainnya dan pada umumnya (melalui politik kostum yang membuat sosok Ayu lebih mirip Gita Gutawa daripada penyanyi dangdut Purawisata), Ayu tidaklah pantas diletakkan sebagai protagonis yang membuat seluruh karakter dalam film (dan penonton) bersimpati atau justru membencinya.

Hal seperti itu tentu bukan hanya kelemahan film drama realis macam 'Cewek Saweran'. Film Indonesia pada umumnya juga masih menghadapi hantu skenario dan tentu saja pengadeganan serta akting yang lemah. Dan, kritik ini tentu saja belum menyentuh ke level ideologis macam pandangan konservatif tentang penggambaran perempuan yang selalu tampak lemah dan membutuhkan pertolongan.

Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.

 

(mmu/mmu)

Hide Ads