Coco: Kembalinya Magis Pixar

Coco: Kembalinya Magis Pixar

Candra Aditya - detikHot
Minggu, 26 Nov 2017 16:39 WIB
Foto: Coco (imdb)
Jakarta - Miguel (disuarakan oleh Anthony Gonzales) hanya ingin bermain musik. Idola seumur hidupnya adalah Ernesto de la Cruz (disuarakan oleh Benjamin Bratt), seorang penyanyi terkenal yang menyita separuh hidupnya. Yang ingin ia lakukan adalah bermain musik dan menyuarakan isi hatinya. Sayangnya, sebagai turunan Rivera, ia harus mengubur impiannya dalam-dalam untuk menjadi seorang musisi.

Keluarga Rivera yang hampir semuanya berprofesi sebagai pengrajin sepatu pernah punya pengalaman buruk. Mama Imelda (disuarakan oleh Alanna Umbach), ibu dari buyut Miguel yang bernama Coco (disuarakan oleh Ana Ofelia Murguia), mempunyai suami seorang musisi. Hidupnya didekasikan untuk bermain musik. Saking berdedikasinya, si suami Mama Imelda sampai rela meninggalkan istri dan putri
kecilnya dan tak pernah kembali.

Patah hati, Mama Imelda membuat larangan bahwa turunannya, para Rivera, untuk tidak pernah bermain musik. Larangan itu berlaku sampai sekarang. Hari itu adalah hari Dia de los Muertos. Hari perayaan orang-orang meninggal. Orang Meksiko percaya bahwa pada hari itu, semua orang yang meninggal akan kembali pulang ke rumahnya. Itulah sebabnya mereka memasang foto keluarga terkasih mereka dan menabur bunga untuk memberi jalan pulang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Malam itu juga Miguel tidak tahan untuk menunjukkan kemampuannya sebagai musisi. Ketika gitarnya dihancurkan oleh Abuelita Elena (disuarakan oleh Renee Victor), Miguel marah dan pergi ke alun-alun. Di sana Miguel berusaha mengikuti kompetisi tahunan dan mencuri gitar legendaris milik Ernesto de la Cruz.

Yang terjadi adalah Miguel terseret ke dunia para arwah. Dia telah melanggar peraturan di malam keramat. Kini Miguel harus mencari cara untuk kembali pulang ke dunianya. Ada momen-momen yang membuat Pixar menjadi salah satu studio animasi paling paten diantara para saingannya.

Pixar berani berinovasi. Ketika studio lain bermain aman, Pixar berani untuk mengguncang konvensi. Meskipun ramuan storytellingnya sangat klasikβ€”terutama jika dibandingkan dengan karya- karya Ghibli yang menggebrak imanβ€”Pixar memperkenalkan kita betapa indahnya ketika mainan-mainan kita ternyata punya kehidupan saat kita tidak menengok. Ia memperkenalkan bahwa perjuangan seorang ayah mencari anaknya di lautan bisa menjadi petualangan yang bahkan lebih seru dari Indiana Jones.

Pixar memaksa kita untuk jatuh cinta kepada robot yang pekerjaannya adalah mengurusi sampah. Ia memperkenalkan kita bahwa obsesi tidak mengenal bentuk melalui Ratatouille. Ia membuat superhero mempunyai kepribadian dan masalah yang kompleks dalam The Incredibles. Pixar berani berimajinasi dengan apa yang terjadi dengan isi kepala anak-anak dalam Inside Out. Tapi ada juga momen-momen dimana Pixar hanya sekedar menjual merchandise dan jalan pintas. Trilogi Cars membuktikan itu.

Monster University memang bukan produk yang jelek namun jika dibandingkan dengan film aslinya, petualangan para monster di kampus tersebut terasa agak hambar. The Good Dinosaur memang bukan slapstick bodoh seperti aksi para Minions, tapi kita tidak merasakan getaran yang sama seperti saat menonton Finding Nemo. Setelah Cars 3 yang dirilis musim panas ini, Pixar akhirnya kembali tobat dengan Coco.

Ditulis oleh Lee Unkrich dan Matthew Aldrich dan disutradarai oleh Lee Unkrich dan co-sutradara Adrian Molina, Coco adalah apapun yang Anda harapkan dari Pixar saat ia sedang percaya diri. Jikalau 'Inside Out' menjadi jawaban yang baik kepada anak-anak tentang emosi mereka, Coco akan menjadi tontonan apik kepada anak-anak tentang gambaran alternatif dunia setelah mati.

Keberhasilan Coco tidak hanya berhasil menggambarkan betapa dunia setelah mati tidaklah sesuram itu, namun ia juga berhasil menggambarkan sebuah budaya yang terasa sangat kental dan keterikatan keluarga, khususnya dalam konteks para Mexicans, yang sangat erat.

"Keluarga adalah segalanya" jelas bukanlah tema pertama yang dilakukan oleh Pixar. Ini adalah karyanya yang ke-sekian dalam mengeksplorasi tema ini. Mengenai obsesi, karakter Miguel juga tidak ada bedanya dengan Remy yang ingin menjadi koki.

Hanya saja, Pixar selalu menemukan ramuan yang tepat untuk membuat unsur-unsur yang sudah kita lihat sebelumnya itu terasa fresh. Pembuatnya tahu bagaimana mengeksploitasi emosi penonton ke level paling dasar. Toy Story 3 berhasil membuat banyak penonton menangis darah di ending filmnya. Bing Bong yang tampil dengan durasi yang tidak banyak juga berhasil mencuri air mata para penonton.

Dalam Coco, eksploitasi emosi tersebut benar-benar dieksplor lebih dalam. Pembuatnya tahu bahwa mereka membahas tentang orang-orang mati, lebih tepatnya orang-orang mati yang kita kasihi. Anda sudah pasti akan menangis kencang di babak ketiga film ini. Pembuatnya tidak main-main dalam menguras emosi.

Tentu saja Coco, secara plot, adalah sebuah tontonan yang gampang ditebak. Anda akan tahu bahwa karakter utama akan belajar dari kesalahan dan berubah menjadi sosok yang baru. Ia juga akan mengubah persepsi orang-orang yang ada di sekitarnya.

Formula ini tidak dihilangkan oleh Pixar. Meskipun begitu, apapun cara mereka dalam bercerita, semuanya berhasil. Mau tidak mau Anda akan terlena dengan petualangan Miguel yang tidak hanya magis namun juga menyentuh.

Ditambah dengan kualitas animasi yang tokcer, dengan warna-warna yang begitu indah dan desain yang mutakhir, Coco tampil mulus tidak hanya menjadi film animasi terbaik tahun ini namun juga salah satu film terbaik tahun ini. Setiap grafisnya mulus tanpa cela.

Setiap gerakannya dibuat dengan seksama. Dan setiap jengkalnya dipikirkan dengan matang. Anda mungkin datang melihat Coco untuk menemani anak atau saudara Anda, tapi Anda akan bertahan karena petualangan Miguel terlalu mempesona untuk
diabaikan.

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International. (wes/wes)

Hide Ads