Kita belum lama ini menyaksikan film bertema perang 'Dunkirk' arahan auteur Inggris-Amerika Christopher Nolan. Bila dibandingkan dengan 'The Battleship Island', 'Dunkirk' lebih terasa seperti tontonan film kartun di hari Minggu yang ramah keluarga. Dalam 'The Battleship Island' perang digambarkan selayaknya kenyataan yakni penuh darah, air mata, keringat, tubuh-tubuh yang dekil, dan mayat-mayat bergelimpangan.
Ryoo Seung-wan boleh jadi tak setenar Nolan atau sutradara lain dari Hollywood, tetapi bagi pecinta film yang mengikuti perkembangan kiwari sinema Korea, judul-judul seperti 'Veteran', 'The Berlin File', dan 'The Unjust' merupakan film wajib tonton yang digaransi dapat memberikan kepuasan penuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syahdan beberapa saat sebelum Korea merdeka dari penjajahan Jepang, ratusan rakyat Korea dipaksa untuk kerja rodi di sebuah tambang batu bara di pulau Hashima, Jepang. Di antara para tahanan paksa itu ada seorang pemain band jazz, Lee Gang-ok (Hwang Jung-min, 'Ode To My Father', 'Veteran'), yang berusaha untuk kabur dan berupaya mati-matian menjaga puteri satu-satunya Sohee (Kim Su-an, 'Train To Busan) untuk dapat bersama-sama keluar dari pulau tersebut. Lee ditipu oleh agennya, dijanjikan pekerjaan untuk manggung dengan imbalan uang yang lumayan, ternyata ia dan puterinya terjebak lantas menjadi tawanan Jepang.
Lee Gang-ok kongkalikong dengan seorang agen rahasia dari tentara kemerdekaan Korea, Park Mu-young (Song Joong-ki, 'A Werewolf Boy' 'Descendants of the Sun'), yang ditugaskan menyusup ke pulau Hashima dalam misi pembebasan seorang tokoh kemerdekaan yang ditahan pihak Jepang. Hanya Lee yang mampu membantunya menuntaskan misi pembebasan tersebut, dan sebagai imbalannya Lee menginginkan dirinya dan puterinya dapat ikut kabur dari pulau Hashima.
Kita semua tahu bahwa kekalahan Jepang pada perang dunia kedua disebabkan oleh dijatuhkannya bom atom di atas kota Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika. Kisah film ini film bersinggungan dengan peristiwa besar tersebut.
Ternyata peristiwa pelarian pulau Hashima sepenuhnya fiksi, tetapi kekejaman perang di Hashima memang nyata terjadi; lebih dari 800 warga Korea menjadi budak dan dipaksa kerja rodi di tambang batu baru, terutama anak-anak sebab mereka dapat lebih lincah bergerak di lorong-lorong sempit di pertambangan.
'The Battleship Island' merupakan proyek film paling ambisius bagi Ryoo Seung-wan, bagaimana tidak, untuk menciptakan efek nyata sekaligus memberikan kengerian peristiwa pelarian di Pulau Hashima, ia membangun set sungguhan dengan skala 2:3. Sekuen-sekuen aksi di film ini dibuat dengan teknis efek praktis, kehadiran efek khusus komputer amat minim dan berfungsi hanya untuk mendukung efek praktis. Menonton film ini berarti juga menyaksikan bagaimana industri film Korea telah membawa capaian artistik pembuatan film ke level yang lebih jauh lagi.
Peran yang dibawakan Hwang Jung-min mengingatkan kita akan karakter yang dimainkan oleh Roberto Benigni dalam 'Life is Beautiful' yang mengisahkan perjuangannya sebagai tahanan di kamp konsentasi Nazi lantas berusaha melindungi anaknya yang juga ditahan bersamanya. Roberto Benigni bersinar dan diganjar piala akan usahanya menghidupkan peran di film tersebut, tetapi dalam 'The Battleship Island' aktris cilik yang kini tenar berkat penampilannya yang memukau dalam 'Train To Busan', Kim Su-an, betul-betul mencuri perhatian sepanjang film bergulir, dari awal hingga akhir. Kehadirannya amat menguras emosi kita, dan kita peduli akan nasibnya di film ini.
'The Battleship Island' adalah film perang yang langka, yang jarang kita temui yang dibuat dengan amat baik dengan penuh pemikiran dan dedikasi.
Film ini tayang di jaringan bioskop CGV dan Cinemaxx. Tersedia pula dalam format Screen X yang memberikan pengalaman menonton dengan sistem multi layar β dinding kanan-kiri bioskop dipenuhi gambar proyeksi.
Shandy Gasella, Pengamat film (dar/dar)