Sekeping kebahagiaan inilah yang mungkin akan dirasakan para pecinta Oasis dan para pemuja Noel Gallagher, saat mendengar lagu-lagu dalam album Chasing Yesterday, album solo kedua pencipta lagu-lagu utama Oasis tersebut.
Seperti rilisan album solo Noel sebelumnya (Noel Gallagher's High Flying Birds, 2011), lagu-lagu dalam Chasing Yesterday masih merefleksikan karakter khas karya-karya Noel: melodius namun jauh dari melankolis, repetitif tapi tidak pernah membosankan, kaya dengan melodi dan sound pinjaman tapi otentik, dan mengejutkan namun selalu seperti kawan lama yang mudah kita kenali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada jeda vokal lagu Riverman misalnya, kita akan disuguhi solo gitar ikonik ala melodi gitar Santana yang sangat membius, disambung atmosfir jazz menyayat dari alunan tiupan saxophone, yang akan segera mengingingatkan kita pada atmosfir nglangut dan menekan, seperti sejumlah lagu Pink Floyd dalam album Dark Side of The Moon.
Nuansa jazz dengan aroma psikadelia yang kental juga bisa kita temukan pada lagu The Right Stuff, sebuah lagu dengan jelajah terjauh, yang jarang bisa kita temukan pada lagu-lagu karya Noel sebelumnya. Pada Lagu dengan kelindan alunan gitar, saxopohone, clarinet, dan vokal latar wanita yang bluesy ini, kita akan mendengar Noel bernyanyi santai, melantunkan lirik omong kosong, mungkin tentang indahnya rasa syukur pada keteguhan, untuk bertahan pada sebuah pilihan.
Sementara pada lagu-lagu dengan beat cepat yang sangat Oasis, seperti Lock All the Doors (hasil finishing dari lagu demo era album debut Oasis, Definitely Maybe), atau lagu You Know We Can't Go Back, kita akan bertemu dengan banyak karakter karya-karya Noel yang sangat kita kenal: penuh melodi, chorus yang antemic dan nuansa stadium rock yang meledak.
Bangunan melodi nan catchy dengan sentimen kuat, yang biasa kita jumpai dalam lagu-lagu lama Oasis, juga bisa kita temukan pada sejumlah lagu bercorak balada, yang kali ini ditampilkan Noel dengan musikalitas dan kadar emosi yang jauh lebih matang. Ada lagu soal kenangan indah tentang seseorang, berjudul The Girl With The X-Ray Eyes, yang seperti mengawinkan sound dan melodi lagu Masterplan (Oasis) dengan Space Oddity (David Bowie).
Ada juga While the Song Remains The Same, sebuah ode tentang kelelahan hati yang indah dan menyentuh. Dan, puncak dari deretan balada pada album ini, adalah The Dying of the Light, sebuah monolog puitik dengan bait-bait lirik penuh melankoli mengharukan.
"Woke up sleeping on a train that was bound for no-where,
The echos that I could hear were all my own,
The world had turned and I'd become a stranger,
Got tired of watching all the flowers turn to stone,"
Perayaan emosi musikal dalam Chasing Yesterday, ditutup dengan track Ballad of the Mighty I. Lagu yang menampilkan permainan mantan gitaris The Smits, Johny Marr ini, menghadirkan semua hal terbaik yang bisa diharapkan semua penggila britpop: beat dan groove memukau, solo gitar nan fungky, hingga harmoni vokal dan vokal latar yang mengawang dan menghipnotis. Selain lagu-lagu di atas, masih ada lagu In The Heat of Moment dan The Mexican, yang meski tidak istimewa, namun sangat catchy, dan memiliki hook maut ,yang akan membuat kita tak keberatan untuk terus menirukan dan mencintainya.
Pada akhirnya, lagu-lagu dalam Chasing Yesterday, memang seperti kolase puisi musikal, yang ditulis Noel Gallagher, untuk menumpahkan hasratnya pada penjelajahan baru. Namun, alih-alih mengasingkannya dari masa lalu, penjelajahan itu justru mengantarkannya pada melankoli tak bertepi. Seperti hasrat pada perjalanan untuk pergi meninggalkan rumah, tapi selalu menerbitkan rindu bukan kepalang pada wajah-wajah yang ditinggalkan. Sebuah penjelajahan yang membangunkan melankoli.
Saat memutuskan keluar dari Oasis, akibat pertengkaran dengan sang vokalis yang juga adiknya, Liam Gallagher, hingga membuat grup itu bubar pada 2009, Noel memang membuat semua pecinta Oasis di dunia bersedih. Tapi seperti setiap kisah tentang rasa sakit, yang bila diatasi, bisa menerbitkan kebahagiaan, dan bahkan pencerahan, kisah tentang Noel Gallagher yang menghancurkan Oasis, akhirnya juga membawa salah satu penulis lagu terbaik dekade 90-an itu, pada kesempatan kedua, untuk menciptakan karya-karya baru, yang tak sekedar mendekati atau sama indahnya dengan karya-karyanya yang terdahulu, namun juga lebih membuatnya bahagia. (/)