Film ini benar-benar menunjukkan Kairo dan sekitarnya dengan sangat jelas. Mulai dari Universitas Al Azhar, Sungai Nil, pelabuhan, Pyramid dan jalan raya di sepanjang pinggiran Sungai Nil benar-benar menambah daya tarik film ini.
'KCB' sangat berbeda sekali dengan film sebelumnya 'Ayat-Ayat Cinta' (AAC) arahan sutradara Hanung Bramantyo. Jika dibandingkan dengan film 'AAC' yang latar belakang ceritanya hampir mirip, film yang disutradarai oleh Chaerul Umam ini lebih unggul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun dari segi cerita, film 'KCB' lebih runut dan lebih mendekati cerita novelnya. Sayang, terlalu cepat dan tidak ada saat yang menjadi puncak dari sebuah rentetan adegan. Meskipun kita disuguhi cerita yang seolah-olah mendekati puncak emosi tetapi tiba-tiba dibawa ke cerita yang membawa emosi kita datar-datar saja. Semua terkesan biasa-biasa saja dan tidak bisa membawa emosi kita menjadi terharu. Padahal jujur saja, saat saya membaca novelnya saya terhanyut dan bahkan bisa membuat mata saya berkaca-kaca.
Berbeda dengan film 'AAC' yang ada sedikit pendramatisiran. Di film 'AAC' sejak awal kita sudah disuguhi cerita yang langsung bergerak cepat dan seolah-olah kita langsung dibawa ke puncak cerita. Meskipun kita ketahui kalau di film 'AAC' ada tiga segmen puncak. Yaitu pertama saat Fahri menikah dengan Aisha, kedua saat Fahri ditangkap dan interograsi dan akhirnya dinyatakan bebas dan ketiga adalah saat Fahri berpoligami. Semua sangat terasa. Bahkan, saya bisa terbawa haru saat Fahri dielu-elukan teman-temannya di depan ruang sidang setelah dinyatakan bebas.
Jika dilihat lebih dalam, cerita dalam film KCB bisa dikatakan lambat panas namun runut hampir seperti novelnya.
Dari segi cerita, film 'KCB' jelas lebih mirip dengan novelnya, namun tidak untuk film 'AAC'. Dari segi emosional film 'AAC' lebih menghanyutkan daripada film 'KCB', meskipun ceritanya agak jauh dari novelnya. Cara penyuguhan puncak segmen cerita film 'ACC' lebih mengena daripada film 'KCB'. Satu hal yang membuat film 'KCB' lebih menarik mungkin karena lebih banyak 'sense of humor' yang ditonjolkan. Kita sering dibuat tertawa kecil dengan gaya dan perilaku teman-teman Azzam. Sesuatu yang tidak saya temukan pada film 'AAC'.
Melihat akting para pemeran, saya nilai ada yang agak garing. Seorang aktor kawakan sekelas Didi Petet yang memerankan tokoh Pak Ali, pada saat berdialog di pinggir laut bersama Azzam, mimik mukanya terlihat seperti tidak mewakili yang diucapkannya, seperti ada kesan bingung apa yang mau diucapkan. Deddy Mizwar juga kurang bagus memerankan seorang kyai yang belogat Jawa. Kemudian untuk Azzam, meskipun pendatang baru, saya nilai lebih luwes dibanding Fedi Nuril saat memerankan Fahri. Dan yang sedikit mengejutkan kehadiran Kang Abik sang penulis novel yang memerankan seorang ustad. Aktingnya lumayan bagus, tidak terlalu jelek. Dalam hal akting, kedua film tersebut saya nilai seimbang.
Sebelumnya saya berpikir, apakah cukup sebuah novel dwilogi yang begitu panjang ceritanya dibuat dalam satu film? Semua itu terjawab pada saat saya masih berpikir cerita masih ditengah-tengah jika kita merujuk ke novelnya. Dan ternyata benar, di film KCB dituliskan "to be continuedβ¦". Kita harus melihat lanjutannya di film 'KCB 2'.
Kesimpulan saya, film ini masih mendapat bintang 4++ untuk skala 5. Cerita dan latar belakang sudah lumayan bagus tetapi ada sedikit kritik seperti yang saya tulis diatas. Saran saya buat penikmat film, film ini layak ditonton meskipun tidak sesensasional film 'AAC'.
Β
oleh: Didit Kurniawan (Gajah Mada, Jakarta)
(hkm/hkm)











































